Jakarta (ANTARA News) - Bagi Saptono Soemardjo (47), menginjakkan kaki di Tanah Suci Mekah bukanlah hal baru. Namun, delapan kali ke sana selalu membuatnya baru.
Mekah selalu memberi fotografer LKBN ANTARA ini pengalaman berbeda pada setiap dari delapan kunjungannya itu.
Berbeda dari Saptono, Prasetyo Utomo (31) baru pertama kali menghadap ke rumah Tuhan itu.
Ada rasa haru ketika dia ditugaskan ke Baitullah bersamaan dengan kedua orangtuanya yang juga memenuhi panggilan suci ke sana.
Adalah momen tak akan dilupakan oleh Pras, begitu ia akrab disapa, saat dia dan kedua orangtuanya wukuf bersama di Arafah.
Dua kesan tak sama dari kedua fotografer itu dipadu dalam satu, bagai sebuah catatan harian.
Cerita demi cerita mereka tuturkan dalam setiap bidikan. Imaji menuai kisah. Kisah merekam kenangan perjalanan Saptono dan Pras dalam memenuhi tugas, sekaligus menunaikan rukun Islam kelima pada waktu yang berbeda.
Semua itu terangkum dalam buku berjudul "Makkah Photography Diary" yang adalah trilogi dari buku karya fotografer LKBN Antara lainnya, “Makkah Final Destination†(2009) dan “The Other Side of Makkah†(2010).
Dua yang terakhir ditulis oleh Zarqoni Maksum dan Maha Eka Swasta.
Buku kedua bercerita tentang ritual haji, yang ketiga mengisahkan sisi lain kehidupan masyarakat Mekah, sedang yang pertama memadukan bidikan Saptono dan Pras dalam kombinasi kedua cerita sebelumnya; ritual haji dan kehidupan masyarakatnya.
Uniknya, dari empat tahun momen yang diambil di Mekah oleh fotografer-fotografer berbeda justru semakin menampilkan perubahan kentara terjadi di Mekah, termasuk pergeseran budayanya yang tertangkap kamera untuk kemudian menjadi gambar-gambar yang menarik.
Bukti perubahan
Dari 144 foto yang dikemas, ada 62 foto yang dipajang dalam gelaran pameran foto "Makkah" di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA).
Terlihat jelas, foto-foto Saptono dan Pras menjadi rekaman sejarah perubahan Mekah dalam kurun waktu dua tahun.
Dari beberapa jepretan Saptono tahun 2010, pada Masjidil Haram terlihat pembangunan sebuah menara baru yang akan menjadi menara jam tertinggi di sana. Sementara foto-foto Pras yang diambil tahun 2011 menyajikan menara jam itu sudah berdiri dengan gagah.
Hasil jepretan Saptono dan Pras juga melengkapi foto-foto sebelumnya yang belum ada. Misalnya, Saptono berhasil mendapatkan momen suasana saat jutaan orang di Masjidil Haram menunaikan ibadah salat Jumat dengan deretan shaf nan rapi.
"Dari dulu angle foto di Masjidil Haram selalu dipenuhi jutaan orang yang lalu lalang, makanya saya menunggu momen ketika mereka salat. Saya ambil (momen itu) dari lantai tiga Masjidil Haram," kata Saptono, yang kini manajer peliputan Antara Foto itu.
Pras juga menangkap momen saat orang-orang berebut menyentuh Hajar Aswad saat tawaf, dari jarak dekat. Foto itu, menurut Pras, tidak mudah diperolehnya.
Dia harus mencuri-curi mengambil momen itu dengan menghindari pengawasan askar atau petugas keamanan di tengah jutaan orang yang tengah berdesakan.
"Saya mencuri-curi saat ambil fotonya pakai kamera poket. Paling cuma dapat dua atau tiga frame," kata Pras.
Giordano di Mekah
Selain menyajikan ritual ibadah, hal lain yang ingin ditampilkan kedua fotografer dari "Makkah Photography Diary" adalah menampilkan sisi lain dari perjalanan mereka di Mekah.
"Sisi lain kehidupan Mekah bahwa di sana bukan berarti selalu suci seperti yang orang-orang yang berpikir Mekah itu suci banget," kata Saptono sembari menunjuk foto yang merekam jejeran pakaian merk terkenal Giordano bersama lalu lalang orang berjilbab.
Sementara Pras yang sudah mendapatkan referensi dari dua buku sebelumnya sudah bertekad untuk mendapatkan momen foto lain yang belum ada sebelumnya.
"Memang ada keinginan ambil foto lain yang belum ada," kata pengarung dunia bawah air itu.
Selama hampir dua bulan bertugas mereka tidak hanya ditantang untuk pintar membagi tugas dan ibadah, tapi juga "kucing-kucingan" dengan askar-askar yang bisa menjadi "ancaman" saat mereka diam-diam memotret sekitar Masjidil Haram.
"Di Masjidil Haram pernah ditangkap karena ketahuan motret. Saat dia mau ambil kamera, saya ingat kata-kata teman kalau orang Arab senang dipegang jenggotnya. Saya lakukan itu," kata Saptono.
Tebak, Saptono memang berhasil menyelamatkan kameranya dari petugas setelah "momen" jenggot itu.
Pras menimpali, "Saya pernah ditegur petugas saat memotret jamaah tahalul di Masjidil Haram namun kameranya tidak sampai diambil."
Saptono dan Prasetyo telah tuntas menunaikan rukun Islam yang kelima. Namun sebagai seorang fotografer, perjalanan keduanya masih jauh dari tuntas.
Bahkan Saptono yang memiliki banyak pengalaman memotret di wilayah konflik seperti kerusuhan prareformasi tahun 1998 di Jakarta, konflik Aceh, dan konflik Ambon, ingin kembali "turun ke lapangan" setelah suatu saat nanti tidak lagi menjabat jabatannya di Antara Foto.
Prasetyo yang berlatar belakang pendidikan jurusan kelautan dan gemar menyelam, lain lagi. Dia ingin membuat buku tentang olahraga favoritnya, sepakbola. Dia juga ingin menjadi fotografer spesialis bawah laut. (*)
Kala fotografer naik haji
Selasa, 28 Agustus 2012 10:51 WIB