Samarinda (ANTARA) - Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur mendorong para petani setempat meningkatkan peran dan daya saing komoditas karet, sehingga mempunya nilai jual yang tinggi dan berdampak pada peningkatan ekonomi.
Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ujang Rachmad di Samarinda, Minggu, mengatakan sejumlah program yang telah dilakukan di antaranya melakukan perbaikan mutu bahan olah karet melalui inovasi Gebrak Bokar Bersih sebagai program peningkatan komoditas pascapanen.
Ujang menjelaskan Gebrak Bokar Bersih merupakan inovasi yang menghasilkan solusi menyeluruh mengenai budidaya karet Kaltim.
Inovasi ini lanjutnya, sangat inovatif karena idenya muncul justru di saat krisis kualitas karet dan rendahnya harga jual karet.
"Solusi yang ditawarkan membawa dampak sangat luas, karena membuat budidaya karet ditangani secara baik. Mulai produksi getah, pengolahan (bahan olahan karet bersih) hingga pemasaran. Semua prosesnya melibatkan kelompok tani karet langsung dengan pihak pabrik pengolahannya," jelas Ujang.
Ujang menjelaskan bahwa komoditas karet merupakan salah satu produk unggulan perkebunan di Kaltim.
Di mana tahun 2019, luas perkebunan karet rakyat 92.640 hektar dengan produksi 57.944 ton getah yang melibatkan 54.470 petani.
Namun demikian diakui Ujang Rachmad bahwa kendati sudah lama diusahakan sebagai perkebunan rakyat, lebih dari 80 persen petani di Kaltim kurang mengetahui mengolah karet, cara menyadap yang baik dan menjaga kualitasnya.
Menurut dia, hasil karet menjadi rusak karena terkontaminasi benda-benda asing ke dalam getah, seperti tatal, kayu, batu dan plastik.
Selain itu, lanjut Ujang para petani juga mencampurkan bahan penggumpal yang tidak sesuai, seperti pupuk TSP. Getah disimpan di dalam kolam dalam waktu lama, sehingga elastisitas karet menurun menyebabkan rendahnya harga bokar di tingkat petani.
"Kisaran harga yang diperoleh petani sekitar Rp4.500 hingga Rp5.000 per kilogramnya," sebut Ujang Rachmad.
Selain itu, hasil produksi karet dibawa dan dijual ke Kalimantan Selatan yang mengakibatkan biaya angkut lebih tinggi, sehingga petani lebih suka menjual kepada para tengkulak dengan harga yang jauh lebih murah.
"Akibatnya, kebanyakan petani tidak termotivasi melakukan penyadapan getah karet," tegas Ujang Rahmad.
l