Untuk melukiskan kekecewaan terhadap kecantikan perempuan, orang Jawa punya ungkapan "Sri Gunung". Artinya, setelah dilihat dari dekat, ternyata perempuan itu wajahnya jerawatan, bopeng-bopeng dan seterusnya. Mungkin tampak cantik dari jauh berkat ditambal make up tebal. Perempuan yang kecewa dengan pria yang semula menyanjungnya ganti menukas dengan: "Rayuan gombal".
Gunung memang tampak indah dipandang dari jauh, menawan, memesona, mengundang orang untuk mendaki atau menaikinya. Ternyata, setelah didaki gunung itu tidak rata, terjal, berjurang dalam dengan tebing yang curam, berhutan lebat. Mengerikan. Pesona dan kengerian ternyata satu kesatuan, tergantung orang yang melihat dan mengalaminya.
Gunung juga dipakai untuk ungkapan tingginya cita-cita. “Cita-citanya setinggi gunung, menembus langit”.
Bersyukur, Indonesia dikaruniai banyak gunung. Ada yang menyebut Indonesia negara kepulauan yang memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia, yakni sekitar 300. Daratan Indonesia berpermukaan gunung-gemunung dari ujung utara Pulau Sumatera sampai Papua di ujung timur. Jarang sebuah negara yang dikaruniai lanskap lengkap: ada gunung, lembah, ngarai dan lautan dengan batas cakrawala yang biru langit. Pantas, pengagum Indonesia menyebut negeri ini sebagai Zamrud Katulistiwa.
Gunung menyimpan banyak mitos dan misteri, sekaligus materi mineral berharga. Lautan Indonesia menyimpan kekayaan tak ternilai, ikan, dan sumber bahan mineral plus energi. Sungguh besar potensi bangsa ini untuk menjadi kaya. Sayangnya, masih banyak rakyat miskin di negeri ini.
Wilayah Sabuk Hijau
Alhamdulillah, dalam rangka pengentasan kemiskinan, Dompet Dhuafa (DD) telah menyepakati MoU (kesepahaman bersama) untuk pengembangan wilayah Sabuk Hijau Gunung Lawu (LGBA = Lawu Green Belt Area).
Sebagai orang yang dilahirkan di Madiun, sejak kecil saya terpesona dengan keindahan dan kemegahan Gunung Wilis di sebelah timur dan gunung Lawu di sebelah barat. Kebetulan, saya di samping sebagai Inisiator DD, juga Ketua Paguyuban Pawitandirogo (Pacitan, Ngawi, Magetan, Madiun, Ponorogo), yakni seluruh kabupaten dan kota eks Karesidenan Madiun.
Jadi, MoU antara DD dan Pemkab Magetan yang ditandatangani oleh Direktur Eksekutif DD Imam Rulyawan dan Direktur Business Operating System (BOS) DD Anna Rahmawati, bersama Bupati Magetan Dr Suprawoto, bertolak dari sesuatu yang personal. DD dan Pemkab Magetan sepakat mengembangkan LGBA yang meliputi enam kabupaten/kota sebelah timur, selatan, tenggara dan utara Gunung Lawu, yang masuk wilayah Provinsi Jawa Timur, dengan Kabupaten Wonogiri, Karang Anyar dan Sragen, yang masuk wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Untuk tahap pertama, kerja sama ini difokuskan pada proyek agrowisata di Desa Singolangu, lereng timur Gunung Lawu – Kabupaten Magetan. Di Singolangu sudah ada 200 ekor sapi dan usaha industri susu, sumber air, kebun sayur, dan lahan yang cukup luas. Singolangu juga merupakan salah satu pos atau pintu gerbang pendakian Gunung Lawu.
DD dan Pemkab Magetan sepakat proyek agrowisata ini menggabungkan sistem pertanian terpadu (integrated farming), dan pariwisata. Singolangu yang terletak sekitar 10 menit perjalanan darat dari Telaga Sarangan, cocok untuk edu-farming.
Kerja sama dengan Pemkab Magetan merupakan sesuatu yang historis dan fenomenal. Historis, karena ini kerja sama resmi yang pertama antara DD dengan pihak pemerintah, yang holistik, terintegrasi dalam satu kawasan. DD bersifat independen, mengambil jarak dengan pemerintah dan kelompok politik manapun, tetapi siap bekerja sama dengan siapapun. Kerja sama win-win demi kepentingan kaum dhuafa.
Proyek Singolangu yang bersifat multi-dimensional dirancang selesai Oktober 2020 bertepatan dengan HUT Kabupaten Magetan. Proyek ini juga fenomenal karena kekhasannya dan akan dijadikan model untuk direplikasi dalam kerja sama dengan pemkab lain di seluruh Indonesia.
Pemberdayaan Berbasis Gunung
Cinta gunung bertujuan pemberdayaan masyarakat berbasis gunung, yang bersifat multidimensi dan multifungsi. Gunung adalah sumber rezeki, gunung adalah tempat mata air sungai, dan berfungsi memberi pelestarian lingkungan, perlindungan flora dan satwa, pemandangan alam, tempat rekreasi dengan udara segar untuk menyejukkan hati, mengasah intuisi dan menggali inspirasi.
Cinta gunung bisa diterjemahkan dalam bentuk program lingkungan dengan empat zonasi: Zona 1 (kaki gunung) dikelola warga sebagai lahan pertanian; Zona 2 sebagai lahan tanaman keras buah/produktif; Zona 3 sebagai kawasan penghijauan tanaman serap air. Dan Zona 4 (puncak gunung) kawasan hutan lindung.
Ini bagian dari mitigasi bencana juga untuk mencegah banjir, longsor, erosi, kekeringan dan bahaya kelaparan dengan segala dampak sosialnya.
Jadi gerakan cinta gunung ini bersifat multi-dimensional, mengandung unsur cinta lingkungan, olahraga, pemberdayaan masyarakat miskin di desa dan pegunungan, wisata alam dan spiritual. Maksudnya, setiap gunung punya mitos tersendiri dan disakralkan oleh penduduk sekitarnya.
Demikian pula Gunung Lawu yang disebut juga Gunung Mahendrata dalam pustaka Jawa Kuno. Cinta gunung berkaitan dengan cinta sungai yang berhulu atau bermata air di gunung. Peradaban sebuah bangsa biasanya berkembang di dataran rendah, wilayah pinggir sungai atau tepi pantai. Tetapi, sumber kearifan berada di puncak gunung. Ke puncak gununglah para pencari hikmah pergi untuk tafakur, meditasi, refleksi dan pendekatan diri kepada Illahi, Sang Pencipta. Karena itu, di puncak gunung sering ditemui para petapa, petilasan dan makam orang-orang yang dianggap suci dan disakralkan.
Saya berharap, cinta gunung melibatkan kaum millenial. Ini bisa meliputi gerakan susur sungai dari hilir ke hulu atau sebaliknya sambil membersihkan sampah, termasuk sampah plastik, mengidentifikasi sumber air, dan mendata spesies tanaman langka. Gunung juga merupakan sumber tanaman obat herbal dan tempat berlindung satwa liar. Alhasil, cinta gunung berarti cinta sesama.
Mari kita mulai Gerakan Cinta Gunung dengan menyanyi “Naik-naik ke puncak gunung, …….”
*) Parni Hadi adalah Inisiator/Ketua Pembina Dompet Dhuafa dan Ketua Umum Paguyuban Pawitandirogo.