Jakarta (ANTARA News) - Uji kewarasan berpikir yang dibimbing hati
nurani kini perlu ketika Indonesia berada dalam pusaran "perang opini
siber" (Cyber Opinion War) gara-gara pernyataan Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) tentang surat Al Maidah ayat 51 terkait dengan Pemilihan
Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 2017.
Perkara ini telah menyeret berbagai isu ikutan terkait dengan
keyakinan umat Islam, ideologi Negara Pancasila, Bhineka Tunggal Ika,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hak azasi manusia, stabilitas
nasional, dan kredibilitas pemerintah.
Pro dan kontra adalah wajar dalam demokrasi (untuk merebut dan
mempertahakan kekuasaan). Secara sederhana, masyarakat, terutama para
calon pemillih terbelah sebagai Ahokers (pendukung Ahok) dan
non-Ahokers, walau ada tiga pasangan calon gubernur.
Isu turunan dari kedua pihak berkembang ke mana-mana, hampir tidak
terkendali, menjurus bersifat suku-agama-ras-antargolongan (SARA):
Cina-pribumi, non-Islam-Muslim dan kaya-miskin.
Masing-masing punya argumen yang diyakini paling benar. Argumen pro
dan kontra itu disebarkan secara bebas dan terbuka lewat media sosial
(medsos). Masing-masing individu bebas menyampaikan pendapatnya sendiri
dan meneruskan opini lawan dengan tujuan tunggal: untuk mendapat
dukungan.
Medsos berbeda dengan media konvensional (media cetak, radio dan
televisi) yang untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan sesuatu berpedoman
kode etik (jurnalistik dan penyiaran), hukum dan peraturan perundangan
yang berlaku serta, ini yang tak kalah penting, kendali pemilik media.
Masing-masing merasa paling pintar, benar, dan berkuasa sendiri.
Lupa setiap aksi akan memicu reaksi setimpal sesuai sunnatullah atau
hukum alam demi tercapainya kesetimbangan atau equilibrium.
Jika dalam persaingan, maka seseorang atau satu pihak semakin
ngotot, bersikukuh dengan pendapatnya sendiri dan nekat, akan mendapat
perlawanan seimbang berkat teknologi informasi yang semakin murah dan
mudah untuk dikuasai.
Orang pintar sekarang telah menyebar di hampir semua lini
masing-masing pihak. Internet sebagai basis medsos telah terbukti
sebagai alat demokrasi informasi tentang segala bidang peri kehidupan.
Dulu kemampuan untuk menyadap, menganalisa, memanipulasi, dan memalsukan
informasi hanya dimiliki oleh orang atau lembaga tertentu, terutama
intelijen.
Sekarang intelijen swasta tidak kalah canggih dengan intelijen resmi. Berita palsu (hoax) dilawan hoax dengan mudah. Kekuasaan sekarang mendapat penantang terbuka di medsos. Masing-masing punya kemampuan untuk mem-viral-kan opininya.
Mau membreidel medsos tidak semudah dulu. Kaum liberalis, termasuk
para pendukung kekuasaan, akan melawannya. Masing-masing pihak punya
jaringan luar negeri juga.
Cooling down
Waras sering dikaitkan dengan kondisi kejiwaaan, pikiran dan
ingatan. Karena itu, orang gila disebut tidak waras. Menurut sebuah
kamus bahasa Indonesia, waras itu berarti sehat jasmani dan rohani.
Untuk menguji kewarasan berpikir alias akal sehat atau common sense", orang perlu cooling down,
pendinginan, untuk mengendapkan emosi, merenung, kontemplasi, mendengar
suara hati nurani sambil mohon bimbingan Tuhan. Menuduh aksi 4 November
2016 ditunggangi kepentingan politik, akan mendapat tuduhan balik:
siapa yang tidak?
Mencap Ahokers semuannya sesat pikir dan iman sama absurd-nya
dengan mencap semua peserta aksi adalah muslim garis keras. Di kedua
belah pihak banyak orang waras pikir dan moderat.
Menuduh non Ahokers sebagai anti-Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dibalas dengan: Walau
seluruh warga negara berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahah,
apakah agar dapat disebut Pancasilais, pemimpinnya harus non-Muslim?
Banyak pecinta NKRI yang pluralis dan damai di kedua belah pihak.
Tidak ada kebenaran mutlak di salah satu pihak. Di masing-masing pihak
terdapat orang-orang bergaris keras.
Mengapa tidak mengapresiai aksi 4 November 2016 yang tercatat
sebagai unjuk rasa terbesar sepanjang sejarah RI sebagai aksi damai?
Mengapa pula tidak menghargai polisi yang menangani peristiwa itu dengan
piawai, antara lain dengan menggelar dzikir Asmaul Husna, sehingga berkesan simpatik? Masing-masing sama "pinter"-nya, sudah tahu kartu masing-masing.
Bahwa akhirnya terjadi kerusuhan setelah Magrib, harap dimaklumi
pengunjuk rasa dan polisi sama-sama manusia, yang memiliki keterbatasan
daya tahan fisik dan emosi. Tuduhan ada provokator akan dijawab: siapa
yang memulai? Melarang demo bisa dianggap tidak demokratis. Demo dilawan
demo tandingan tidak akan membantu menemukan solusi, bahkan terkesan
upaya adu-domba.
Menghadapkan aparat bersenjata dengan pengunjuk rasa bisa dianggap
kurang bijak, karena kekuasaan pasca-Orde Baru diperoleh juga berkat
unjuk rasa lewat Gerakan Reformasi. Lebih baik menyelesaikan sumber awal
perkara secara transparan dan adil.
Penetapan Ahok sebagai tersangka, tidak langsung terdakwa, harus
dipahami memang begitu prosedur proses hukum. Mengawal proses hukum agar
sesuai aspirasi, silakan, asal tertib dan damai.
Sebaliknya, mengkapitalisasi status tersangka sebagai modal
kemenangan telak satu putaran dan bahkan kekuasaan lebih tinggi, yakni
presiden, bisa dianggap jumawa dan akan memprovokasi tindakan
perlawanan. Masing-masing perlu menahan diri, mengendalikan nafsu.
Syahwat kekuasaan memang dapat membutakan. Praktik "fulitik" (fulus dan politik) atau money politics
yang menganggap semua orang bisa dibeli dengan uang dan jabatan,
sebagaimana anggapan para cukong, adalah keliru. Juga menghalalkan
segala cara itu bertentangan dengan Pancasila.
Sama kelirunya dengan menganggap berpolitik sebagai kegiatan
menggiring anak buah sebagai itik (bebek), yang serba mengikut. Masih
ada akal sehat dan hati nurani yang bisa muncul sewaktu-waktu. Para
pemimpin masing-masing pihak perlu menunjukkan jiwa kenegarawanan.
Susah menjadi "golteng" (golongan tengah) di antara kedua belah
pihak di era yang cenderung mengelompokkan orang secara
dikotomi-diametral, lawan atau kawan. Tapi, golteng perlu hadir sebagai
pengingat.
Mahatma Gandhi, tokoh pasifis, mengingatkan: "An eye for an eye will end up the whole world blind". Jika emosi masing-masing diumbar, maka akan membuat seluruh dunia buta.
Pujangga Jawa Ronggowarsito juga telah wanti-wanti mengingatkan "Sak beja-bejane kang lali, isih luwih beja kang eling lan waspada".
Artinya, lebih beruntung orang yang ingat dan waspada daripada orang
yang lupa (kalap). Rasulullah Muhammad SAW bersabda: "Musuh terbesar
kita adalah hawa nafsu kita sendiri."
Bersimaharajalelanya medsos hendaknya menyadarkan pimpinan media
massa konvensional, apalagi media arus utama, untuk menjadikan media
mereka sebagai clearing house (rumah klarifikasi/verifikasi),
wabil khusus Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, Radio
Republik Indonesia (RRI), dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang
sebagian operasionalnya dibiayai dengan uang rakyat lewat anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN).
Juga pemilik radio dan televisi swasta yang menggunakan frekuensi
milik publik, wajib mengabdikan seluruh siarannya untuk kepentingan
publik, sebanyak mungkin rakyat, pemilik kedaulatan NKRI. Wartawan (dan
media massa) mengemban profesi mulia, yakni sebagai penerus tugas
kenabian (profetik) untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan.
Hikmah dari peristiwa ini: isyarat Allah yang menguak cakrawala
baru, mengingatkan para pemimpin Indonesia agar bersatu untuk mewujudkan
NKRI yang adil, makmur dan sejahtera untuk seluruh rakyat, bukan
golongan tertentu saja, berdasar Pancasila. (*)
*) Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin
Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama
Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.
Uji Waras dalam Pusaran "Perang Opini Siber"
Rabu, 23 November 2016 10:18 WIB