Dampak terbesar medsos adalah gulung tikarnya media konvensional. Banyak
koran dan majalah, nasional maupun internasional, menutup layanan cetak
dan berganti dengan layanan "online".
Alasan utamanya adalah menurunnya jumlah pelanggan. Ini dialamai oleh koran Inggris The Independent belum lama ini.
Tidak hanya media cetak yang terancam segera mengalami "Sandyakala"
atau waktu senja, tetapi juga stasiun radio dan televisi. Oleh karena
itu, seperti media cetak, mereka juga membuka layanan "online".
Jadi, akan banyak pemimpin redaksi (pemred), redaktur, dan reporter
media konvensional yang terancam menganggur? Tidak juga, dengan catatan
versi "online" media konvensional mereka bisa berjaya dalam bersaing
dengan medsos dalam kecepatan, ketepatan, kelengkapan, dan kemanfaatan
informasi yang disajikan plus. Ini sangat penting, dalam merebut kue
iklan.
"Sekitar 50 persen tenaga redaksi dihemat," kata seorang mantan
redaktur senior koran sore yang menutup edisi cetaknya dan hanya memberi
layanan "online" beberapa bulan lalu. Dihemat artinya diberhentikan.
Akan tetapi, pada umumnya redaktur yang berpengalaman tidak sulit
mendapat pekerjaaan atau menciptakan pekerjaan baru.
Struktur Redaksi
Media konvensional (cetak, radio, dan televisi) mengenal struktur
organisasi redaksi, mulai dari reporter, redaktur, redaktur pelaksana,
hingga wakil dan pemred sebagai penanggung jawab puncak.
Karena pemred harus banyak tugas di luar kantor untuk lobi dan
membangun jaringan kerja sama, baik nasional maupun internasional, orang
terpenting di media massa adalah redaktur. Pendapat ini didukung oleh
seorang mantan redaktur ekonomi, yang kini beralih profresi sebagai
pengusaha. Apa yang dikatakan rekan saya itu persis tertulis dalam buku
"News Editing" karya Prof. Bruce H. Westley, terbitan tahun 1953.
Westley mengutip Adolph S. Ochs, pendiri New York Times, mengatakan:
"Orang yang paling berguna di surat kabar adalah orang yang bisa
mengedit (menyunting)". Dia adalah guru besar ilmu jurnalistik Wisconsin
University yang berpengalaman magang di media cetak.
"Penulis jumlahnya banyak. Setiap profesi menawarinya. Akan tetapi,
redaktur adalah sebuah profesi tersendiri," kata Ochs, merujuk kepada
kecerdasan dan keterampilan tingkat tinggi.
Redaktur atau editor adalah kunci dan penjaga gawang sebuah media
massa. Apa yang muncul di media cetak adalah hasil jerih payah redaktur
yang mengolah tulisan reporter (peliput) sedemikian rupa sehingga
menjadi enak (dan perlu) dibaca karena terpercaya informasinya berkat
akurasi, diksi, sistematika, dan gaya penyajiannya.
Redaktur mempunyai sejumlah tugas, antara lain sebagai mata rantai
mekanisme operasional redaksi: sebuah tulisan tidak dapat tersiar tanpa
dibubuhi kode redaktur yang telah memeriksanya.
Dalam tugas ini terkandung peran untuk menghapus atau mengoreksi
kesalahan data, menyederhanakan, meringkas, memperjelas, dan mengoreksi
bahasa dan maknanya, membuat berita objektif, adil dan aman dari
tuntutan hukum, mengubah sebagian, seluruhnya dan/ atau menulis ulang
tulisan demi terjaganya "selera yang baik" (etis) dan menyesuaikan
tulisan dengan langgam (gaya) penyajian, visi dan misi sebuah media
massa.
Medsos selama ini tidak mengenal struktur itu. Siapa saja yang bisa
mengunggah informasinya (tulisan, gambar, dan suara) serta-merta menjadi
segalanya sekaligus: ya, reporter, fotografer, redaktur dan langsung
pemred sebagai penanggung jawab puncak.
Cepat, hemat waktu dan tenaga, murah, dan karenanya efisien, juga
efektif karena dapat segera tampak dampaknya dari jumlah orang yang
mengunjungi situs dan memberi komentar: suka, tidak suka, atau
menyampaikan pendapat lain yang memperkaya gagasan dan informasi.
Karena tidak ada struktur hirarki redaksi, medsos dinilai sangat
bagus untuk kecepatan informasi, tetapi sulit untuk verifikasi
keakuratan dan kebenaran informasinya. Ada plus minusnya. Akan tetapi,
harus diakui, medsoslah yang paling gampang dipakai untuk menyulut
revolusi, termasuk Arab Spring beberapa tahun lalu.
Cita-cita banyak wartawan, termasuk saya di awal tahun 70-an, adalah
menjadi pemred. Sebuah posisi yang amat bergengsi. Disegani, dihormati,
dan lebih tepatnya ditakuti, serta yang digaji tertinggi.
Pemred adalah dewa penguasa tertinggi redaksi sehingga ada rumusan
tentang apa itu berita terkait dengan jabatan itu: "News is whatever
decided by the editor in chief". (Berita adalah apa saja yang ditentukan
pemred). Pemred identik dengan pemegang jabatan politik. Oleh karena
itu, mantan pemred bisa menjadi menteri atau duta besar.
Perlu waktu panjang untuk mencapai posisi puncak itu dan jarang yang
berhasil meraihnya. Saya perlu waktu 20 tahun untuk mencapai posisi itu
setelah meniti berbagai jenjang: reporter, redaktur, wartawan istana
presiden, penugasan di luar negeri selama 7 tahun, kepala redaksi
Inggris, kepala repoter (chief reporter), kepala redaksi umum, dan wakil
pemimpin pelaksana redaksi di LKBN ANTARA sebelum ditugasi paruh waktu
untuk menjadi Pemred/Pemimpin Umum koran Republika tahun 1993 dan
kembali sebagai orang nomor satu di ANTARA pada tahun 1998.
*) Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin
Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998 sampai dengan 2000, dan
Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005 s.d. 2010.
Pemred dan Redaktur Terancam Menganggur?
Senin, 11 April 2016 15:42 WIB