Balikpapan (ANTARA News Kaltim) - Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain (BPHLSW) memagari kawasan hutan seluas 9.782 hektare tersebut dengan pagar kawat berduri sepanjang 37,6 kilometer.
"Itu baru 80 persen dari seluruh panjang batas kawasan. Targetnya adalah 47 km," kata Direktur BPHLSW Purwanto di Balilkpapan, Kaloimantan Timur, Jumat.
Menurut Purwanto, pemagaran tersebut sudah mulai dikerjakan sejak 2008 silam. Dana yang digunakan murni dari anggaran untuk Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Kota Balikpapan sebesar Rp1-2 miliar per tahun sejak 2008 tersebut.
Anggaran tersebut berarti sudah separuh dari jatah Rp4 miliar anggaran operasional BLH.
Pemagaran bertujuan melindungi tumbuhan dan hewan penghuni HLSW dari penebangan liar dan perburuan.
"Dengan adanya pagar, setidaknya orang tidak akan dengan mudah keluar masuk kawasan lindung ini," kata Purwanto lagi.
Meski berstatus Cagar Alam, Hutan Lindung ini selalu mendapat tekanan besar dari perilaku manusia yang tinggal atau berusaha di dekat kawasan ini.
Menurut dia, di perbatasan utara kawasan, di garis batas Kota Balikpapan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, Hutan Lindung Sungai Wain berbatasan langsung dengan tambang batubara yang dikelola oleh PT Singlurus.
Aktivitas tambang itu juga yang membuat para aktivitis lingkungan dan Badan Pengelola merasa perlu adanya batas yang jelas dan dipagari antara tambang dengan kawasan hutan lindung.
Hutan Lindung Sungai Wain dibagi memiliki tiga blok pemanfaatan. Yang utama adalah hutan primer seluas 7.000 hektare, lalu hutan kemasyarakatan 1.400 hektare, dan Kebun Raya Balikpapan seluas 290 hektare.
Bagi Kota Balikpapan, fungsi utama HLSW adalah sebagai daerah tangkapan air (catchment area) yang mengamankan daerah di bawahnya dari banjir dan juga menjadi sumber air baku Pertamina.
"Tentu juga HLSW berperan sebagai paru-paru kota, menyerap polusi udara dan emisi karbon dan menyimpannya di dalam tanah. Karena ini pula HLSW mulai dimasukkan dalam skema pengurangan emisi karbon atau REDD yang merupakan perjanjian internasional," kata Purwanto.
Terbakar
Kawasan hutan primer HLSW pernah mengalami kebakaran besar di tahun 1997 dan 1998. "Hampir 60 persen kawasan hutan terbakar, terutama yang berada dalam kawasan hutan kemasyarakatan, terbakar selama 4 minggu," cerita Purwanto.
Selama itu pula petugas berusaha keras memadamkan api dengan berbagai cara yang mungkin. Enam puluh persen kawasan hutan yang terbakar tahun-tahun tersebut adalah 5.862 hektare.
"Dengan kesabaran, kini kawasan tersebut sudah mulai pulih, di mana sudah tumbuh kembali tumbuhan-tumbuhan utama menggantikan perdu dan semak perintis," sambung Purwanto.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki membuat ilmuwan dari berbagai belahan dunia datang ke HLSW untuk meneliti. Di kawasan ini tumbuh tanaman langka seperti ulin (Eusideroxylon zwageri), para spesies genus Dipterocarpaceae yang semuanya bernilai ekonomis tinggi seperti kayu meranti.
HLSW juga memiliki orangutan liar yang berasal dari proyek pelepasliaran Yayasan Balikpapan Orangutan Society (BOS).(*)