Kuala Lumpur (Antaranews Kaltim) - Kabar tewasnya pemuda 23 tahun anggota suporter klub Liga 1 Persija Jakarta The Jakmania, Haringga Sirla, menjadi kabar sangat buruk di persepakbolaan nasional beberapa bulan menjelang berakhirnya 2018.
Haringga tewas karena dikeroyok oleh oknum diduga pendukung tim rival Persija, Persib Bandung, di halaman Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/9), sebelum laga kedua tim di Liga 1 musim 2018 dimulai.
Situasi lanjutannya semakin terasa mencekam karena video penganiayaan itu tersebar di media sosial. Dalam rekaman itu tampak sang korban diserang dengan berbagai alat, tanpa ada pihak yang berusaha menolong.
Kejadian itu pun menambah panjang kisah buram suporter Indonesia. Ucapan-ucapan usang, "Semoga tidak terulang, semoga ini terakhir", atas kekerasan serupa pada waktu lampau akhirnya dilindas oleh kenyataan bahwa tak pernah ada kebijakan serius untuk menanggulangi hal tersebut.
Berkaca dari kasus Haringga, pada Selasa (25/9), pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi mendesak Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk mengambil sikap tegas.
Imam pun menginstruksikan agar liga sepak bola Indonesia dihentikan selama dua minggu sampai ada langkah konkret dari PSSI.
PSSI pun mengamini keputusan pemerintah itu. Pada hari yang sama, Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi memastikan kompetisi Liga 1 Indonesia 2018 dihentikan hingga waktu yang tak ditentukan untuk keperluan pengusutan kasus kematian Haringga Sirla.
PSSI berjanji tegas dalam mengambil tindakan untuk semua pihak yang terlibat dalam peristiwa memilukan rasa kemanusiaan tersebut.
Komisi Disiplin PSSI segera bekerja untuk menentukan sanksi apa yang akan diberikan
"Tentu sesuai aturan main. Ada sanksi dari yang terendah berupa teguran, finansial atau bahkan diskualifikasi," kata Edy.
Menurut catatan PSSI, Haringga adalah korban jiwa ke-95 yang terenggut dalam sepak bola Indonesia sejak 2005.
Paling Populer
Hasil survei perusahaan riset Nielsen pada 2017, sepak bola merupakan olahraga paling populer di dunia, di mana 42,7 persen penduduk Bumi mengakui dirinya menyukai olahraga permainan sebelas lawan sebelas itu.
Dengan jumlah yang sangat besar tersebut, hampir mustahil rasanya menghilangkan kecintaan penggemar terhadap klub tertentu. Konsekuensi atas hal ini, tentu saja timbulnya fanatisme.
Fanatisme, kecintaan yang berlebihan, pada umumnya berdampak positif bagi klub. Pendukung yang fanatik ini merupakan ujung tombak klub meraih pundi-pundi. Mereka pasti datang ke stadion setiap kali tim bertanding, membeli produk-produk yang dijual klub dan lain-lain.
Namun, sisi yang bisa dikatakan negatifnya, yaitu kelompok ini rentan menumbuhkan ketidaksukaan terhadap pihak lain di luar mereka.
Sosiolog Universitas Nasional Nia Elvina menyebut individu-individu dalam lingkup suporter ini membentuk ikatan emosional yang kuat karena didasari minat yang sama.
"Sehingga sangat riskan terjadi konflik dalam bentuk 'perang' antarsuporter," kata dia.
Perbedaan kepentingan, pendapat, antara pendukung dua klub atau lebih sejatinya tidak pernah dilarang dalam sepak bola, bahkan oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
Akan tetapi, kalau dibiarkan saja tanpa pengawasan, berarti perbedaan sudut pandang antarsuporter bisa berujung pada kekerasan, perusakan, apalagi pembunuhan.
Sebaliknya, jika dikelola dengan bermartabat, perbedaan itu dapat diubah menjadi "penyedap" sebuah pertandingan yang sangat menguntungkan dari sisi pemasaran.
Lihat saja salah satu pertandingan rival terbesar sepak bola di dunia, Barcelona versus Real Madrid. Sejarah pertemuan kedua klub yang berada di Liga Spanyol ini selalu "panas" dan melibatkan persoalan di luar sepak bola.
Barcelona kental dengan Katalunia, wilayah pembangkang yang menjadi "duri dalam daging" di Spanyol, sedangkan Real Madrid merepresentasikan nasionalisme Spanyol yang antisubversif yang artinya juga anti-Katalunia.
Sejenak mundur ke belakang, sangat banyak jatuh korban di wilayah Katalunia, termasuk Barcelona, ketika pemimpin Spanyol nasionalis-fasis Jenderal Francisco Franco mencaplok wilayah mereka pada 1939. Sejarah ini selalu terbawa-bawa dalam laga sepak bola Barcelona kontra Real Madrid hingga saat ini.
Oleh karena itu, jangan heran sering sekali ada tulisan "Catalonia is not Spain" terutama saat Barcelona bertanding menghadapi Real Madrid di Stadion Camp Nou, Barcelona.
Lantas, dengan perseteruan panjang itu, suporter kedua tim saling berkelahi dan membunuh di setiap laga? Jawabannya tidak.
Justru intrik-intrik, dendam, rivalitas itu dijual sebagai bumbu utama laga Barcelona dan Real Madrid. Kemasannya dibuat eksklusif. Liga Spanyol memasarkan partai itu dengan nama "El Clasico", yang menjadi semacam merek dagang untuk pertandingan tersebut.
Hasilnya? Menurut Forbes, mengutip Nielsen, saat pertemuan kedua tim di Stadion Camp Nou, Barcelona, pada Desember 2016, menghasilkan 42,5 juta dolar AS dari sponsor seragam (jersey), logo, iklan, dan lain-lain.
Hal itu belum lagi ditambah nilai dari siaran televisi yang menghasilkan 26,8 juta dolar AS dan tambahan lain lebih dari 15 juta dolar AS, termasuk dari media sosial.
Forbes menyebut, hanya di Amerika Serikat pertandingan kedua tim ditonton oleh dua juta penggemar sepak bola.
"Jika dihitung secara global, sekitar 50-100 juta orang menyaksikan laga tersebut melalui siaran televisi," tulis Forbes.
Bisa Diterapkan
Berakhirnya laga panas seperti Barcelona melawan Real Madrid tanpa adanya korban, sekaligus menghasilkan keuntungan besar, bisa saja diterapkan di Indonesia. Syaratnya, para suporter harus menyadari bahwa persaingan, perbedaan kepentingan itu sebatas dalam arena pertandingan semata.
Di luar stadion, semua suporter sejatinya sama, yaitu pencinta sepak bola dan lebih tinggi lagi, seorang manusia. Manusia yang wajib menghormati manusia lain dengan segala latar belakangnya.
Benediktus Arden, pemuda asal Jakarta dan mengaku seorang The Jakmania sama seperti Haringga Sirla, sudah membuktikan bahwa suporter Indonesia dapat mewujudkan itu, berhubungan baik dengan kelompok "fans" lain yang dianggap lawan.
Pada 2011, Benediktus yang aktif di dunia suporter, baik klub maupun tim nasional Indonesia, membentuk sebuah kelompok yang dinamakan La Grande Indonesia.
La Grande Indonesia merupakan kumpulan para penggemar tim nasional sepak bola Indonesia. Terkait dengan hal itu, hal yang penting bahwa mereka semua berasal dari kelompok suporter klub Indonesia, termasuk yang kerap bentrok seandainya bertemu.
"Anggota kami ada yang The Jakmania, Bobotoh, Bonek dan lainnya. Kami memang sepakat tidak membawa atribut klub apapun di La Grande Indonesia karena dukungan kami di sini hanya untuk Merah Putih," tutur dia.
Seiring perjalanan, kekeluargaan mereka semakin akrab. Benediktus dan rekan-rekan The Jakmania di La Grande disambut dengan baik ketika mereka berkunjung ke Sidoarjo, yang menjadi salah satu basis Bondo Nekat (Bonek), suporter Persebaya Surabaya, untuk menonton laga tim nasional.
Ia menilai kedekatan dirinya serta rekan-rekannya meski berbeda tim favorit awalnya karena diikat perjanjian tak tertulis bahwa di La Grande Indonesia tak boleh mendukung tim atau klub manapun kecuali timnas Indonesia, termasuk timnas kelompok umur.
Lama kelamaan, kesepakatan abstrak itu menjadi kesadaran bahwa tak ada untungnya memperuncing persoalan antarsuporter, apalagi sampai berujung kematian, karena sejatinya semua pencinta sepak bola di Indonesia merupakan saudara sebangsa, se-Tanah Air.
"Itu menjadi salah satu tujuan positif keberadaan kelompok-kelompok suporter timnas Indonesia semacam La Grande Indonesia. Di luar kami masih banyak kelompok sejenis, bahkan ada ada pula basis suporter Indonesia di luar negeri," tutur dia.
Terkait dengan kasus yang sudah terjadi, seperti kematian Haringga, La Grande Indonesia berharap semua pemangku kepentingan sepak bola nasional mulai dari suporter, PSSI, hingga pemerintah dilibatkan dalam penanganannya agar tak terulang kembali.
Hukuman tegas mesti diberikan kepada yang bersalah, evaluasi menyeluruh harus dilakukan.
Kekerasan dalam sepak bola yang menelan korban bukan cuma terjadi di Indonesia. Bedanya, negara lain seperti Spanyol atau Inggris yang pada tahun 80-90-an identik dengan kelakuan suporternya yang beringas, berhasil bangkit, menghapuskan budaya barbar tersebut dan kini sangat maju dalam industri sepak bola.
Tentu, perubahan ke arah sana tidak mudah. Dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak agar kerusakan, luka, maupun kematian atas nama fanatisme klub bisa dihilangkan. (*)
Berbeda bukan berarti melukai, apalagi membunuh
Rabu, 26 September 2018 22:01 WIB