Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Para civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Mulawarman meminta negara tetap mempertahankan prinsip "strict liability" atau tanggung jawab mutlak dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Bahkan negara perlu mengoptimalkan penggunaanya dalam proses penegakan hukum lingkungan di seluruh Indonesia," tegas Dr Muhammad Muhdar, juru bicara para civitas akademika FH Unmul di Balikpapan, Kaltim, Selasa.
Penegasan para akademika ini berlatar pengajuan peninjauan hukum kembali (judicial review) oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Konsorsium perusahaan itu menggugat UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama Pasal
69 ayat (2), Pasal 88 dan 99 yang menggunakan prinsip strict liability tersebut.
Gugatan peninjauan kembali itu mengacu kepada peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan pada 2015, di mana sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit menjadi tertuduh utama sebagai pembakar lahan.
Pasal 88, terutama, menyatakan bahwa setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Sementara itu, para pengusaha menginginkan adanya pembuktian terlebih dahulu sebagai syarat pemidanaan.
"Di situlah negara perlu mempertahankan prinsip ini, sebab prinsip strict liability ini hanya diberlakukan pada kegiatan yang sangat berbahaya (abnormally dangerous activities) dan sudah dirumuskan berdasarkan hasil perhitungan teknis ilmiah dan moral," jelas Muhdar lagi.
Ia menjelaskan, perhitungan teknis ilmiah menyatakan bahwa secara empirik, kegiatan-kegiatan yang menghasilkan atau menggunakan limbah berbahaya dan beracun mengancam keselamatan manusia dan lingkungan hidup.
Kemudian secara moral, korban dapat berasal dari pihak yang tidak mampu mengenali bahaya dan proses membuktikan kesalahan pelaku.
Menurut Muhdar dkk, prinsip alternatif yang dimohonkan penggugat judicial review, yaitu "liability based on fault", yang menekankan kepada kemampuan penggugat di pengadilan (jaksa) menemukan kesahalan pelaku, tidak relevan diterapkan pada kasus lingkungan hidup yang melibatkan B3.
Apalagi dalam banyak kasus, yang menjadi korban sehingga menuntut ke pengadilan umumnya masyarakat kebanyakan atau masyarakat adat, yang memiliki banyak keterbatasan, sementara para pelaku adalah pengusaha yang kaya modal dan memiliki akses ke berbagai pihak yang bisa memengaruhi upaya pembuktian.
Senada dengan itu, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur Margareth Seting Beraan mengatakan, gugatan judicial review itu upaya menimpakan kesalahan kepada masyarakat adat sebagai yang bersalah membakar hutan.
"Sebab sekarang perusahaan sawit juga bisa dipidana. Dulu yang disalahkan hanya petani tradisional atau masyarakat adat," katanya.
Padahal, kata Seting, sebelum ada pembukaan perkebunan kelapa sawit, tidak pernah ada kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar, meskipun masyarakat memang membuka lahan dengan cara membakar.
"Tidak pernah besar karena skalanya kecil dan saat pembakaran benar-benar ditunggui, disiapkan pengendalinya seperti sekat bakar," tambahnya. (*)
Civitas: UU Lingkungan Hidup Harus "Strict Liability"
Selasa, 6 Juni 2017 21:37 WIB