Samarinda (ANTARA) -
Para jurnalis di Samarinda berhimpun membedah netralitas pers dalam momentum kampanye menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tanggal 27 November 2024.
Koordinator Komunitas Jurnalis Milenial Samarinda (JMS) Faishal Alwan Yasir di Samarinda, Minggu, menegaskan bahwa jurnalis seharusnya menjadi jembatan antara peristiwa dan masyarakat, bukan terlibat dalam politik praktis.
"Jurnalis harus menyampaikan informasi secara akurat, berimbang, dan tidak memihak," ujar Isal, sapaan karibnya.
Isal melanjutkan, "Ketika jurnalis kehilangan netralitasnya, kepercayaan publik akan terkikis."
Pertanyaan tentang netralitas jurnalis ini kemudian dituangkan melalui diskusi publik bertajuk Netralitas Adalah Kunci, Jurnalis Bukan Juru Kampanye di T-Co Coffee, Jalan Banggeris, Sungai Kunjang.
Diskusi ini dihadiri oleh Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Kaltim Abdurrahman Amin, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMS) Muhammad Sukri, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Samarinda Yuda Almerio, dan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Wiwid Marhaendra.
Ketua AJI Samarinda Yuda Almerio menekankan bahwa kepentingan perusahaan dengan kepentingan redaksi harus dibedakan sehingga produk pers tidak mencelakakan kode etik dan profesi jurnalis.
"Jurnalis adalah pewarta yang mencari berita di lapangan dan terikat oleh kode etik jurnalistik serta harus mengedepankan kepentingan publik," ucapnya.
Yuda menambahkan bahwa produk jurnalistik haruslah objektif, berbeda dengan perusahaan pers.
Menurut dia, akan sangat memalukan apabila wartawan bertindak demikian dan membawa kepentingan personal ke dalam profesi jurnalistik.
"Kalau berpihak, apa bedanya produk pers dengan humas," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Kalimantan Timur Abdurrahman Amin mengatakan bahwa kebenaran itu tidak netral dan kebenaran itu berpihak.
"Wartawan itu manusia yang subjektif, dan dia dituntut untuk membuat karya yang objektif dengan sebaik-baiknya. Meskipun karya jurnalistik, pasti ada sisi subjektifnya," ungkap Abdurrahman.
Rahman, yang juga Pemimpin Redaksi Samarinda Pos, memandang penting memosisikan diri secara personal dan profesional.
"Wartawan ini masuk ke dalam wilayah publik. Secara filosofis, wartawan tidak punya atasan. Atasan wartawan itu adalah kepentingan publik. Kenapa dikatakan sebagai profesi? Karena terikat dengan kebebasan dan kode etik," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kaltim Wiwid Marhaendra mengemukakan bahwa media yang tidak netral adalah kebijakan dari setiap perusahaan.
Menurut dia, pemilik perusahaan tidak boleh masuk ke dalam redaksi. Kalau pemilik media menjadi pimpinan redaksi, itu yang akan menjadi kacau dan berpotensi berpihak.
"Politik redaksi adalah solusi dalam mendesain keberpihakan media. Akan tetapi, sebagai wartawan, yang harus diutamakan adalah netralitasnya," ucap Wiwid.
Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Kaltim Mohammad Sukri mendorong independensi setiap insan pers.
Ia mengingatkan bahwa media tidak boleh secara sengaja menyerang pasangan calon lain tanpa data serta fakta dan harus memberikan pemberitaan yang jujur.
Usai diskusi, para wartawan di Samarinda menggelar deklarasi dukungan terhadap netralitas pers selama momentum politik. Deklarasi ini khususnya menangkal hoaks dan berita negatif serta teguh pada kode etik jurnalistik.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jurnalis di Samarinda bedah netralitas pers hadapi pilkada