Jakarta (ANTARA News) - Teror adalah bentuk kekejaman yang hendak melumpuhkan nyali publik dalam
meneguhkan nilai-nilai keutamaan dalam proses politik. Semakin keji
bentuk kebengisan itu, semakin tinggilah efektivitasnya dalam
melumpuhkan nyali masyarakat.
Dalam film-film tentang gerombolan mafia yang diciptakan Hollywood,
The Godfather misalnya, aneka kekejaman yang brutal itu dipertontonkan.
Penonton dibuat terhenyak dalam kengerian saat menyaksikan adegan
ini: seseorang yang bangun dari tidurnya, ketika menyibakkan selimut
yang dikenakannya, didapatinya sepenggal kepala kuda yang disayanginya.
Teror yang lahir dari perseteruan antarkelompok mafia mungkin berhenti pada perebutan lahan bisnis.
Namun teror terhadap pejabat atau aparat publik punya jangkauan
implikasi yang tak berhenti pada perkara materi. Meski dalang di balik
teror terhadap aparat itu tak menyadarinya, implikasi yang serius dari
teror semacam itu adalah runtuhnya bangunan demokrasi yang diperjuangkan
dengan darah dan air mata.
Itulah spekulasi yang kira-kira bisa ditarik dari tragedi
penyiraman air keras ke wajah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Novel Baswedan oleh penjahat yang kini sedang dikutuk semua orang
yang waras.
Penyiram pastilah cecunguk yang menjalankan perintah dari penjahat
lebih tinggi yang sedang terancam oleh kerja KPK yang telah diwujudkan
dengan memuaskan oleh sang penyidik.
Presiden Joko Widodo langsung melontarkan kutukan terhadap aksi
teror itu. Seluruh percakapan media sosial mengkristal untuk menyatakan
bahwa polisi harus menangkap pelaku penyiraman itu.
Warga dunia maya saling berbagi analasis bahwa teror terhadap KPK
bisa diasumsikan dilakukan oleh mereka yang merasa terancam dengan
kegigihan dan keahlian penyidik KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi.
Logika yang secara terang benderang dimaklumi publik adalah: Novel
Baswedang sedang menangani skandal raksasa korupsi dana pembuatan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) elektronik senilai Rp2,3 triliun.
Dengan demikian teror itu ditujukan untuk menghentikan penyidikan
kasus korupsi. Namun, Ketua KPK Agus Rahardjo secara sigap mengeluarkan
pernyataan setelah terjadinya teror terhadap Novel Baswedang bahwa KPK
tak gentar dan akan meneruskan penanganan terhadap kasus-kasus korupsi,
termasuk korupsi KTP elektronik yang mungkin akan menyeret para politisi
berpengaruh.
Dalam menemukan pelaku penyiraman air keras, polisi boleh jadi akan
mengalami kesulitan menemukan penjahat itu. Setidaknya, tak semudah
membekuk teroris yang tak melibatkan banyak politisi sebagai dalang
teror. Juga tak semudah menemukan penjahat pembantai nyawa satu
keluarga.
Kenapa demikian? Karena sangat mungkin akan ada kekuatan di dalam
sistem institusional yang akan bermain untuk menghadang kerja dalam
pencarian terhadap peneror aparat KPK itu.
Sesulit apa pun pekerjaan menemukan penjahat penyiram air keras
itu, publik tetap menuntut polisi sanggup menemukan sang penjahat.
Syukur-syukur, dalaing di balik penyiraman itu juga terkuak.
Namun, dengan pernyataan bahwa KPK tak gentar dengan teror yang
dilakukan terhadap penyidiknya, satu langkah penyelamatan terhadap
demokrasi sudah terlewati.
Teror yang dilakukan oleh koruptor terhadap institusi pemberantas
korupsi jelas muaranya kepada penghancuran nilai-nilai demokrasi.
Masih ingat bagaimana korupsi di era Orde Baru yang berkorelasi
dengan nihilnya nilai-nilai demokrasi? Karena korupsi merajalela, para
elite di zaman itu tak perlu berlomba melakukan kebaikan pada publik
untuk menjadi pemimpin politik. Kekuasaan saat itu tak perlu diraih
dengan membuktikan kerja politisi buat rakyat.
Dengan korupsi, suara rakyat dalam pemilu dapat dibeli dengan uang
hasil korupsi. Proses politik di masa itu adalah rangakaian peristiwa
institusional yang sarat dengan korupsi. Teror, yang dijalankan oleh
politisi yang berkuasa, memperburuk keadaan sehingga yang terjadi adalah
penindasan elite politik yang berkuasa terhadap mayoritas warga yang
tak bisa menjadikan suara mereka bermakna.
Itulah korelasi antara teror dan demokrasi. Perbedaannya antara
teror yang terjadi di era Orba dan sekadang hanya di sisi konteks
pelaku. Jika di masa Orba pelakunya adalah politisi penguasa dengan
korban rakyat, di masa kini pelakunya kemungkinan besar adalah kelompok
yang terancam oleh kinerja aparat pemberantas korupsi.
Efek terakahirnya adalah kerugian yang dirasakan rakyat sebagai
salah satu pemangku kepentingan paling utama demokrasi. Itu sebabnya
dapat dimengerti jika rakyat saat ini di media sosial dengan aklamasi
menuntut polisi segera menemukan peneror penyidik KPK.
Reaksi Agus Rahardjo dan para komisoner KPK yang tak gentar
terhadap teror agaknya pelu didukung dengan semakin tingginya
kewaspadaan polisi dalam menjaga para aparat pemberantas rasuah itu.
Jangan sampai nyali aparat pemberantas korupsi yang berkobar itu
tak diimbangi dengan perlindungan terhadap mereka dari ancaman teror
yang mungkin akan menimpa mereka.
Kontinuitas perlindungan dan pengawalan terhadap aparat pemberantas
korupsi harus menjadi program tetap kepolisian. Sikap lengah atau
mengendorkan pengawalan terhadap mereka akan menjadi celah bagi penjahat
yang akan meneror mereka.
Publik, sebagaimana terbaca dalam percakapan di media sosial,
tampaknya juga tak keberatan jika aparat pemberantas korupsi diberi
fasilitas yang dapat digunakan untuk membela diri ketika menghadapi
penyerangan seperti yang dialami oleh Novel Baswedan. (*)
Teror terhadap Demokrasi
Jumat, 14 April 2017 13:22 WIB