Samarinda (ANTARA Kaltim) - Namanya cukup pendek, Misman. Pria berusia hampir 56 tahun yang memiliki dua putra ini pernah dianggap "gila" karena melawan budaya warga Kota Samarinda, Kalimantan Timur, yang suka membuang sampah ke sungai dan parit.
Anggapan "gila" itu muncul dari sejumlah warga setempat kisaran pertengahan tahun 2015, karena saat itu setiap hari Misman mengambil sampah di Sungai Karang Mumus (SKM) Samarinda, sekitar 500 meter dari tempat tinggalnya.
"Hanya orang gila yang melakukan itu. `Nggak mikirkah` dia, setiap hari ada ribuan orang yang membuang sampah ke sungai, sedangkan dia hanya mengambil sedikit. Biar sampai jelek pun tak mungkin habis sampah di sungai yang diambilnya," ujar beberapa warga kala itu.
Sejumlah teman dekatnya mencoba memperingatkan agar tidak melanjutkan pekerjaan yang dinilai sia-sia itu. Teman-temannya waktu di kelompok teater dulu, teman-teman sesama wartawan juga coba memperingatkan dan menasehati lebih baik fokus menyuarakan SKM dari sisi tulisan.
Teman-temannya juga ada yang melaporkan bahwa ada beberapa orang yang menganggapnya gila, sehingga ia disarankan berhenti memungut sampah. Mendengar ejekan dan saran yang masuk, Misman tak peduli.
Orang yang menganggapnya gila dan aneka ejekan lain yang ditujukan padanya, justru dinilai sebagai orang yang tidak mengerti peran penting sungai, tidak paham dengan makna setetes air sebagai sumber kehidupan, tidak memahami fungsi sungai bagi kehidupan manusia dan makhluk lain yang hidup di dalamnya.
Misman tetap melanjutkan aktivitasnya sambil mengkampanyekan kebersihan SKM melalui media sosial, sesekali dibantu rekan sesama wartawan mempublikasikan gerakannya, sehingga warga yang dulunya acuh terhadap sungai dan parit, kini secara perlahan memiliki apresiasi dan mengikuti jejak Misman, yakni turut membersihkan SKM.
Kini gerakan Misman sudah sekitar 1,4 tahun. Dalam sejarah perjalanan yang boleh dibilang "seumur jagung" ini, telah ada puluhan ribu orang yang membantu memungut sampah di SKM baik sampah yang berserakan di bibir sungai, yang hanyut, maupun sampah yang tenggelam di dasar sungai.
Puluhan ribu orang yang mengikuti jejak Misman dalam upaya membangun lingkungan dimulai dari SKM tersebut ada yang datang secara perseorangan, lembaga, LSM, mahasiswa, kelompok guru, sekolah, hingga perkantoran pemerintah.
Dari ratusan kelompok (di luar individu) yang sudah pernah membantu memungut sampah, ada beberapa kelompok yang menjadwalkan rutin kegiatannya untuk memungut sampah di SKM, sementara kelompok lain dalam momen tertentu juga masih kerap turun.
Sedangkan secara perorangan, masih ada ratusan orang yang terkandang datang lagi untuk membantu memungut sampah, namun sebagian lagi justru seolah telah menjadi bagian dari keluarga sehingga hampir setiap hari menyempatkan waktu memungut sampah, walau sebagian besar yang pernah datang, kini tidak datang lagi.
Seiring dengan makin banyaknya warga yang peduli dan turut membantu membersihkan SKM, kemudian mereka sepakat membuat legalitas formal untuk kelompok ini, yakni LSM Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda dan mereka sepakat mengangkat Misman sebagai ketuanya.
Ia meyakini jumlah warga yang peduli terhadap SKM akan terus bertambah sampai sungai ini benar-benar bersih, sehingga ia mohon maaf kepada simpatisan baru yang menjadi keluarga GMSS-SKM tapi namanya tidak tercantum dalam sususan kepengurusan, karena tidak mungkin setiap bulan menambah jumlah pengurus.
"Bagi saya, keberadaan LSM GMSS-SKM ini hanya supaya kita memiliki legalitas formal. Ini memang penting sebagai surat menyurat, tapi bagi saya, hal yang terpenting adalah bukan pada organisas, tetapi kerja riil kita dalam upaya menciptakan sungai bersih, termasuk membangun ekowisata sungai," ujarnya.
Masih Merana
Satu tahun lebih komunitas peduli sungai yang kini memiliki nama GMSS-SKM Samarinda mendidik masyarakat agar jangan membuang sampah ke parit maupun ke sungai, namun pendidikan dan kampanye tersebut hingga kini belum memperoleh hasil signifikan.
SKM yang memiliki potensi besar untuk destinasi wisata pun tidak digarap. Padahal GMSS-SKM sudah mencoba membangun Ekowisata SKM. Dari upaya ini, telah mampu memberangkatkan lebih dari 100 kali perahu menyusuri SKM karena di bagian hulu banyak keindahan yang bisa dinikmati.
Sayangnya, Dinas Pariwisata kurang kreatif menggali objek baru, sehingga keberadaan objek wisata ini belum tergarap dan tidak mampu menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang saat ini dilanda defisit anggaran.
Padahal dari ekowisata SKM yang telah dimulai oleh GMSS-SKM, banyak hal positif yang mulai terlihat seperti tingkat kebersihan mulai terlihat walau tidak signifikan, pendapatan ekonomi warga bertambah mulai dari tukang pembuat perahu, tenaga penjoki ketinting, rumah kuliner di Muang, toko dan industri rumahan di Muang, termasuk hasil pertanian di Muang pun ikut terbeli.
Kampanye dan pendidikan dengan cara langsung memungut sampah di sungai serta menciptakan ekowisata, merupakan sindiran untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait bagaimana cara yang benar merawat sungai, tentang bagaimana mengurangi banjir melalui normalisasi sungai, tentang bagaimana menerapkan perda tentang sampah, dan tentang bagaimana menciptakan objek wisata.
Pemerintah Kota Samarinda telah lama memiliki peraturan daerah (perda), yaitu Perda Nomor 2 tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, namun perda ini mandul karena sekedar tumpukan kertas bertuliskan aturan, tetapi aturan yang dibuat dengan biaya mahal itu tidak difungsikan sebagaimana niat awal membuatnya.
Dalam Pasal 47 perda ini disebutkan, siapapun yang membuang sampah sembarangan akan dikenai sanksi tiga bulan kurungan atau denda Rp50 juta.
Namun dari dulu hingga kini warga masih membuang sampah ke Sungai Karang Mumus ( SKM) sehingga setiap menit, setiap jam, setiap hari dari tahun ke tahun, aliran SKM selalu disertai apungan sampah oleh si pembuang sampah.
Bahkan sampah berat yang langsung tenggelam ke dasar sungai pun turut dibuang warga seperti pecahan piring, gelas, televisi rusak, dan apa saja barang rumah tangga yang tak terpakai lagi.
Menurut Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Samarinda Endang Liansyah, pihaknya belum bisa berbuat banyak untuk menindak warga yang membuang sampah ke sungai karena minimnya anggaran akibat devisit.
"Dua minggu setelah saya menjadi Pelaksana Harian (Plh) Kepala DKP waktu itu, saya sudah mengadakan rapat bersama Wakil Wali Kota Samarinda, dengan Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, TNI, Polri, Satpol PP, Bagian Hukum, dan para camat untuk membahas hal tersebut," katanya.
Hasil dari pertemuan untuk tindakan lanjutan, akhirnya terbentur pada dana persidangan yang relatif besar. Selain itu, Pemkot Samarinda juga kekurangan tenaga PPNS, seperti Satpol PP ada 9 PPNS, DKP hanya ada satu PPNS.
"Kondisi ini ditambah pula dengan biaya operasional ke lapangan yang terlalu tinggi. Bagaimana kalau masyarakat yang melapor ke DPRD Kota Samarinda untuk minta segera diambil tindakan, terutama kandang ayam dan sejumlah rumah potong unggas di bantaran SKM," ujarnya.
Itu adalah upaya yang dilakukan Endang ketika masih menjadi Plh, namun kini setelah menjadi Kepala DKP definitif, ia tidak lagi seperti masih pelaksana harian. Mungkin ia sadar bahwa sejumlah rencana untuk SKM yang bakal kandas atau karena sebab lain.
Inilah kondisi pemerintahan yang selalu berpikir uang ketika melakukan kegiatan. Padahal mereka sebagai pegawai yang digaji dari uang rakyat, seharusnya melakukan fungsinya secara subtansi, bukan untuk mendapat bayaran lagi ketika melakukan tugas utamanya.
Seharusnya Kepala SKPD kreatif ketika mendapat amanah dari wali kota, bukan lantas berhenti beraktivitas lantaran devisit anggaran, karena kreativitas tidak mengenal uang, justru kreativitas dapat menghasilkan uang yang pada akhirnya bisa menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurut Koordinator Umum GMSS-SKM Samarinda Yustinus Sapto Hardjanto, untuk operasi penertiban kandang ayam atau rumah potong ayam tidak perlu melibatkan masyarakat karena rumah potong unggas di bantaran SKM itu sudah jelas melanggar aturan.
"Mengingat keberdaan rumah potong unggas sudah jelas melanggar berbagai aturan, jadi tidak perlu dukungan masyarakat. Untuk penertibannya hanya perlu kerja sama lintas sektor SKPD seperti Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pasar, Satpol PP, dan instansi lain yang terkait," katanya.
Mengingat begitu kompleksnya dalam menciptakan lingkungan bersih dan sehat sesuai dengan keinginan Kota Samarinda menciptakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), termasuk menggali objek wisata demi meningkatkan ekonomi, maka setiap SKPD terkait hendaknya serius dan memahami konsep lingkungan dalam pembangunan. (*)
"Si Gila" Dengan Puluhan Ribu Pengikut
Jumat, 16 Desember 2016 5:44 WIB