Samarinda (ANTARA Kaltim) - DPRD Kaltim mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Timur menjadi Perda pada Rapat Paripurna ke 18 di gedung dewan setempat, Sabtu (8/8).
Juru bicara Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Banperda) DPRD Kaltim, Syarifah Masitah Assegaf di Samarinda, Minggu, mengatakan, sebelum siap diperdakan, Raperda Adat telah melalui beberapa tahapan dari rapat internal maupun rapat dengar pendapat dengan pihak-pihak terkait. Konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri, studi komparatif hingga uji publik.
"Setelah semua tahapan dilalui, Banperda berpendapat dan meminta dalam Rapat Paripurna ini persetujuan DPRD Kaltim untuk ditetapkannya raperda ini menjadi Peraturan Daerah Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Hak- Hak Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Timur," kata Masitah.
Ia menjelaskan secara sosiologis pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat di Kaltim merupakan kebutuhan yang mendesak untuk menempatkan mereka pada harkat dan martabat sebagai anak bangsa.
Dengan adanya aturan tersebut masyarakat diharapkan bisa menikmati hak-hak yang melekat dan bersumber pada sistem politik, ekonomi, struktur sosial dan budaya, tradisi keagamaan, sejarah dan pandangan hidup. Khususnya yang menyangkut hak-hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam.
Ia membeberkan Raperda tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Hak- Hak Masyarakat Hukum Adat Kaltim terdiri dari ketentuan umum, dan asas tujuan.
Selain itu, lanjut Masitah, juga dijelaskan tentang kedudukan masyarakat hukum adat, hak dan kewajiban masyarakat hukum adat, pembentukan panitia, mekanisme pengakuan dan perlindungan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
"Dengan sejumlah materi dalam raperda ini, diharapkan menjadi pedoman bagi kabupaten/kota di wilayah Provinsi Kalimantan Timur untuk mewujudkan aspirasi masyarakat diteritorialnya masing masing untuk diakui dan dilindungi hak- hak adatnya," imbuhnya.
Di sisi lain, ia mengatakan bahwa adanya aturan hukum adat itu juga untuk mewujudkan lestarinya keberagaman budaya dan meredam berbagai konflik. Baik itu dalam bentuk egosentrisme, sukuisme, serta fanatisme.
"Berbagai konflik sosial tersebut harus bisa digantikan dengan sikap tenggang rasa, hormat menghormati, rukun dan integritas yang tinggi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," urainya. (*)