Jombang (ANTARA News) - Nahdlatul Ulama dapat menerima dan
memperbolehkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang
sebelumnya sempat diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
"BPJS itu tergolong dalam konsep Syirkah Taawwun yang sifatnya
gotong royong (sukarela), bukan seperti asuransi yang menjadi dasar dari
fatwa haram oleh MUI," kata anggota pimpinan sidang Komisi Bahtsul
Masail KH Asyhar Shofwan MHI di Jombang, Jatim, Senin malam.
Dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah (masalah kekinian) di
arena Muktamar ke-33 NU di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang
itu, Ketua Lembaga Bahsul Masail (LBM) PWNU Jatim itu menjelaskan
asuransi memang haram.
"NU sendiri sudah menghukumi asuransi itu haram, karena sifatnya
profit, kecuali asuransi yang dilakukan pemerintah, seperti Jasa
Raharja, karena sifatnya santunan. Kalau BPJS itu asuransi, tentu
haram," katanya.
Didampingi rekannya KH Romadlon Khotib yang juga salah seorang
Ketua LBM PWNU Jatim dalam kepemimpinan sidang komisi Bahsul Masail itu,
ia mengatakan NU sendiri menilai BPJS itu bukan asuransi, melainkan
"syirkah taawwun" karena itu hukumnya boleh.
"Karena itu, pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang sifat gotong royong atau sukarela dari BPJS Kesehatan
itu agar masyarakat tidak memahami BPJS Kesehatan sebagai asuransi pada
umumnya," katanya.
Menurut dia, BPJS Kesehatan sebagai "Syirkah Taawwun" itu hendaknya
dipahami sebagai sedekah dan saling membantu, sehingga tidak sama
dengan asuransi yang profit. "Sebagai sedekah, maka masyarakat harus
ikhlas dalam membayar," katanya.
Ia mengatakan masyarakat yang tidak ikhlas dalam membayar "sedekah"
melalui BPJS Kesehatan itu hanya mau membayar ketika sakit dan tidak
membayar ketika sehat. "Yang namanya sedekah itu harus dalam keadaan
sakit atau sehat," katanya.
Oleh karena itu, NU dalam sidang Komisi Bahtsul Masail pada
Muktamar Ke-33 NU itu merekomendasikan tiga hal untuk menjadikan BPJS
Kesehatan sebagai "syirkah taawwun" dan harus disosialisasikan kepada
masyarakat secara terus menerus.
"Tiga rekomendasi kami tentang BPJS Kesehatan adalah tidak ada
pemaksaan, status peserta BPJS harus selalu di-update karena orang
miskin itu tidak miskin terus, dan manfaat gotong royong untuk saling
membantu itu harus disosialisasikan terus," katanya.
Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Umum MUI KH Makruf Amin
menjelaskan fatwa haram BPJS tersebut karena tidak beres secara
prosedural dan substansial.
"Sesuai undang-undang, di antaranya, suatu produk bisa dianggap
bersistem syariah jika mendapatkan opini kesyariaahan dari Dewan Syariah
Nasional. Nah, BPJS Kesehatan tidak mengajukan untuk meminta fatwa atau
opini kesyariaahan ke Dewan Syariah Nasional," ujarnya.
Selain itu, MUI juga mempersoalkan uang yang dikumpulkan itu
didepositkan di bank konvensional sehingga mengandung riba, karena itu
MUI bisa menerima BPJS, asalkan sistem yang dipersoalkan MUI itu
diperbaiki. (*)
NU Perbolehkan BPJS Kesehatan
Senin, 3 Agustus 2015 22:18 WIB