Jakarta (ANTARA) - Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menyatakan rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena data tenaga kerja AS non farm payrolls (NFP) pada September 2023 lebih tinggi dibandingkan perkiraan.
"Data tenaga kerja AS NFP yang menunjukkan jumlah orang yang dipekerjakan di luar sektor pertanian dan pemerintahan untuk bulan September, naik jauh lebih tinggi dibandingkan perkiraan, 336 ribu versus 171 ribu," ujar dia ketika dihubungi di Jakarta, Senin.
Hasil ini dinilai mengindikasikan kondisi ketenagakerjaan AS masih solid dan mendukung kebijakan suku bunga tinggi AS untuk mengendalikan atau menurunkan inflasi AS ke target 2 persen.
Kepala Ekonom JPMorgan Chase AS Michael Feroli pada Jumat (6/10/2023) mengatakan laporan pekerjaan yang lebih tinggi dari perkiraan tidak akan mengubah keputusan Federal Reserve untuk menghentikan kenaikan suku bunga pada November 2023.
Namun, data peningkatan inflasi yang mengejutkan dapat menjadi faktor yang mendorong bank sentral untuk menaikkan suku bunga.
Menurut CME FedWatch Tool, pasar memperkirakan peluang sekitar 68 persen bahwa The Fed akan menghentikan kenaikan suku bunga pada November 2023. Untuk Desember 2023, perkiraan 58 persen The Fed bakal melakukan jeda kenaikan suku bunga lagi.
Penguatan dolar AS juga ditopang oleh sentimen hindari risiko karena perlawanan Hamas dari Palestina terhadap Israel. Menurut dia, pasar mungkin mengantisipasi kemungkinan perang ini meluas.
"Potensi pelemahan (rupiah) ke arah Rp15.650 per dolar AS, dengan potensi support di sekitar Rp15.580 per dolar AS," ungkap Ariston.
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin pagi melemah sebesar 0,20 persen atau 32 poin menjadi Rp15.645 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.613 per dolar AS.