Jakarta (ANTARA) - Karena tuntutan kebutuhan hidup, tidak sedikit warga negara Indonesia nekat mengadu nasib ke negeri jiran, tanpa mengantongi dokumen resmi.
Bagi keluarganya di kampung halaman, mungkin mereka dikenal sebagai pahlawan yang akan pulang membawa rezeki untuk menutup utang tanpa harus menggali lubang.
Akan tetapi, di mata hukum, mereka adalah pekerja migran Indonesia (PMI) yang ilegal. Karena itu, mereka pun rentan tertangkap kala aparat penegak hukum Malaysia melakukan razia terhadap PMI ilegal.
Berdasarkan data yang diungkap oleh Komnas HAM, per Rabu (13/7), sebanyak 2.959 WNI menghadapi penahanan berkepanjangan tanpa batas waktu. Dari 2.959 WNI yang ditahan di Depo Tahanan Imigrasi (DTI)/Detensi Malaysia, sebanyak 2.160 merupakan laki-laki, 697 merupakan perempuan, dan 102 orang merupakan anak berusia di bawah 17 tahun.
Sebelumnya, mereka sudah tuntas menjalani masa hukuman dan bersiap untuk dideportasi. Detensi Malaysia merupakan tempat transit sebelum deportasi.
Sayangnya, alih-alih lekas dipulangkan ke Tanah Air, para WNI tersebut justru mendekam di Detensi Malaysia lantaran belum ada kejelasan mekanisme pemulangan.
Kompleksitas permasalahan pemulangan WNI, apalagi yang berstatus sebagai PMI ilegal, tidak saja membuat repot pelaku, melainkan juga para pembuat kebijakan.
Tak hanya terkait aspek hukum maupun pembiayaan pemulangan, para pembuat kebijakan harus mempertimbangkan hubungan antarnegara, memikirkan bagaimana caranya agar hak asasi manusia para PMI ilegal tetap terjamin, dan yang paling penting adalah memikirkan cara terbaik untuk mencegah berulangnya kejadian serupa.
Solusi pencegahan tersebut penting untuk memutus lingkaran setan pemulangan pekerja migran ilegal.
Kondisi di detensi
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengungkapkan jumlah WNI di Detensi Malaysia telah melampaui kapasitas ruangan.
Permasalahan tersebut menyulitkan pemenuhan berbagai hak asasi manusia (HAM) para tahanan, seperti hak untuk memperoleh layanan kesehatan, hingga buruknya sanitasi yang mengakibatkan WNI menderita sakit kulit skabies.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, telah berkomunikasi dengan otoritas Malaysia terkait permasalahan tersebut. Perbaikan layanan pun dilakukan oleh otoritas Malaysia di depo yang berada di wilayah Sabah, Malaysia.
Komnas HAM dan Kementerian Luar Negeri menyampaikan apresiasinya atas perbaikan tersebut dan berharap agar depo-depo di wilayah lainnya dapat melakukan hal serupa.
Selain terkait pemenuhan HAM, Komnas HAM juga menyoroti keberadaan 102 anak berusia di bawah 17 tahun yang turut tertahan di Detensi Malaysia.
Membayangkan anak-anak berada di dalam ruang detensi, penuh sesak bersama orang-orang dewasa lainnya, menuai perhatian dari Komnas HAM. Mereka yang selayaknya mendapatkan pendidikan dan bermain dengan bebas, justru terkurung demi tak terpisah dari orang tuanya.
Pemerintah Indonesia perlu memperjuangkan hak anak dan kepentingan anak, salah satunya dengan menjadikan anak dan kelompok rentan sebagai prioritas pemulangan ke Indonesia.
Sebagaimana yang pernah berlangsung pada 13 April 2023, Kementerian Luar Negeri memfasilitasi pemulangan 154 Warga Negara Indonesia/Pekerja Migran Indonesia (WNI/PMI) kelompok rentan yang sebelumnya ditahan di berbagai Detensi Malaysia dan yang berada di shelter Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur.
Para WNI/PMI tersebut dipulangkan ke Tanah Air dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia, dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta Banten pada hari yang sama, 13 April 2023.
Pemulangan PMI ilegal
Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha memaparkan dua strategi Pemerintah Indonesia terkait dengan PMI ilegal.
Strategi pertama adalah jangka pendek, yakni memulangkan WNI dengan pesawat carter maupun kapal laut. Kementerian Luar Negeri berulang kali menggunakan solusi ini, seperti saat memulangkan kelompok rentan dari Malaysia, maupun memulangkan kurang lebih 3.000 PMI ilegal dari Arab Saudi.
Akan tetapi, solusi tersebut belum mampu mencegah kejadian ini terulang. Pemulangan oleh pemerintah, menggunakan uang negara yang berasal dari pajak rakyat, justru dapat menimbulkan perspektif lain dan memicu situasi yang lain.
Terdapat kekhawatiran munculnya pola pikir kolektif bagi masyarakat yang berniat menjadi PMI, yakni "biaya kepulangan akan ditanggung oleh pemerintah bila ditahan di luar negeri". Hal tersebut dapat mengakibatkan semakin banyaknya WNI yang secara nekat menyelundupkan diri ke luar negeri sebagai pekerja tanpa dokumen, dan menganggap dengan mudahnya dapat pulang ke Indonesia karena dibiayai oleh pemerintah.
Karenanya, meskipun pemerintah Indonesia bisa saja mengangkut 2.959 WNI/PMI yang kini tertahan di Detensi Malaysia, langkah tersebut disadari oleh pemerintah sebagai penanganan jangka pendek.
Detensi Malaysia akan diisi oleh PMI ilegal lagi apabila masalah ini tidak segera menyelesaikan permasalahan dari hulunya.
Menyadari pentingnya solusi yang berkelanjutan, Kementerian Luar Negeri bersama para pemangku kepentingan terkait, termasuk dari pemerintah Malaysia, sedang menggodok mekanisme pemulangan WNI, khususnya PMI ilegal, guna mencegah terjadinya penumpukan di Detensi Malaysia. PMI ilegal akan bertanggung jawab untuk membayar biaya kepulangannya masing-masing.
Langkah tersebut menjadi strategi kedua, yakni strategi jangka panjang bagi pemerintah Indonesia untuk menanggulangi permasalahan PMI ilegal yang ditahan di luar negeri. Tujuannya bukan hanya untuk mencegah penumpukan, melainkan untuk menghindari penghukuman ganda yang diterima oleh PMI ilegal.
Pemerintah akan menciptakan mekanisme kepulangan yang jelas, termasuk kejelasan mekanisme pembayaran biaya kembali ke Tanah Air, dan bagaimana alur koordinasi untuk memulangkan PMI ilegal.
Kementerian Luar Negeri RI juga menilai penting bagi kementerian dan lembaga di Indonesia bekerja sama memberantas modus-modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), serta tindak pidana penyelundupan manusia (TPPM). Kedua tindak pidana ini berkontribusi besar terhadap maraknya permasalahan PMI ilegal di luar negeri.
Pemerintah menyadari bahwa menjadi hak setiap warga negara untuk berangkat ke luar negeri dengan tujuan mendapat penghasilan dan penghidupan yang layak, juga untuk meningkatkan kesejahteraan.
Hanya saja, yang selalu disampaikan oleh pemerintah adalah memilih pekerjaan itu dengan proses imigrasi yang legal sehingga mereka dapat bekerja dengan aman.
Memutus lingkaran setan pekerja migran ilegal
Oleh Masuki M. Astro Sabtu, 15 Juli 2023 9:23 WIB