"Dalam RUU Kesehatan ini justru sangat ditekankan sekali pengetatannya. Secara prinsip, pengaturan dari pendayagunaan tenaga medis dan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan dari layanan tertentu," katanya dalam acara Podcast "Kemen-cast" yang diikuti di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan RUU Kesehatan membatasi pendayagunaan tenaga asing di fasilitas layanan kesehatan Indonesia, salah satunya hanya pada kompetensi dokter spesialis dan subspesialis.
Hal itu pun, kata dia, dilaksanakan dengan memperhatikan tingkat kompetensi maupun kebutuhan ketersediaan dari tenaga medis dan tenaga kesehatan berstatus warga negara Indonesia (WNI).
"Kalau memang itu (WNI, red.) sudah cukup, tidak perlu lagi untuk menghadirkan tenaga asing, kecuali sesuai kebutuhan. Misalnya pelayanan spesialis tertentu yang kurang atau layanan kekhususan yang kurang untuk memenuhi layanan kesehatan," katanya.
Persyaratan pertama yang perlu dipenuhi tenaga medis dan kesehatan asing, yakni mengikuti evaluasi kompetensi yang meliputi proses penyetaraan kompetensi untuk memperlihatkan standar kompetensi di Indonesia.
Selain itu, peserta mengikuti proses uji kompetensi dan adaptasi di fasilitas layanan kesehatan melalui pengawasan oleh tim penilai.
Indah mengatakan salah satu penilaian penting selama proses adaptasi, yakni kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar agar komunikasi dalam layanan kesehatan masyarakat bisa terjalin baik.
"Dalam RUU Kesehatan ditekankan ada kewajiban pengguna tenaga asing untuk memfasilitasi pendidikan dan pelatihan Bahasa Indonesia, sesuai undang-undang di bidang tenaga kerja," katanya.
Ketentuan RUU Kesehatan juga membatasi pendayagunaan tenaga asing dalam jangka waktu tertentu.
"Misalnya per dua tahun, itu bisa diperpanjang kembali hanya untuk dua tahun berikutnya," katanya.
Ia mencontohkan layanan kesehatan di Indonesia yang saat ini membutuhkan peran tenaga asing, salah satunya di bidang pengembangan layanan kesehatan berbasis robotik yang masih membutuhkan transfer teknologi dari negara asing.