Monrovia (ANTARA News) - Jika Jokowi blusukan hanya di wilayah Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin dunia blusukan sampai ke Liberia, negeri miskin Afrika Barat. Sebagai Ketua Panel Tinggi PBB untuk perumusan pembangunan global pasca 2015, SBY harus terbang 19 jam ke Monrovia.
Begitu pesawat kepresidenan "Garuda Indonesia 1" mendarat di Bandara Robert di pagi hari Kamis (31/1), tanda-tanda ketertinggalan sangat jelas kelihatan di negeri yang didirikan oleh mantan para budak dari Amerika Serikat pada 1847.
Bandara Robert mirip bandara perintis di satu kabupaten di Tanah Air. Tidak banyak pesawat yang mendarat atau lepas landas. Hanya ada dua pesawat yang parkir, yaitu pesawat kepresidenan Indonesia dan pesawat British Airlines yang membawa Perdana Menteri Inggris David Cameron. Begitu pintu pesawat terbuka, bau menyengat khas Afrika segera menghambur menusuk hidung.
Setelah upacara karpet merah dan penyambutan kenegaraan, rombongan presiden segera dibawa ke mobil yang mirip bus Damri di masa 1980-an. Sopir mengatakan perjalanan ke Hotel Royal, tempat berlangsungnya acara, akan ditempuh dalam waktu satu jam. Hotel Royal adalah hotel terbaik di Monrovia, namun tidak lebih dari hotel bintang tiga di Indonesia.
Liberia adalah negeri tropis mirip Indonesia. Sepanjang perjalanan ditemukan tetumbuhan yang biasa ada di pedesaan Jawa: pohon kelapa, mangga, pisang, jambu dan sukun. Namun, rumah-rumah dan bangunan yang dilalui mirip-mirip situasi Indonesia di tahun 1960-an atau 1970-an. Anjing dan ternak satu dua ditemukan di pinggir jalan, kadang juga orang dewasa dan anak-anak kencing dan buang air besar di gerumbulan ilalang atau kebun sayur.
Masuk ke pusat kota kekumuhan tampak jelas. Di kanan kiri jalan orang-orang duduk-duduk dan jalan-jalan sepertinya tidak punya pekerjaan. Anak-anak main bola di lapangan tanah yang berdebu dan tiang gawang dari kayu seadanya. Total penduduk Liberia hanya 4,3 juta jiwa, tapi pengangguran menurut statistik tidak resmi mencapai 85 persen dari angkatan kerja.
Keamanan tidak terjamin. Tim pendahulu memperingatkan agar rombongan tidak bepergian di jalan sendirian, tapi harus dengan pengawalan. Orang asing yang membawa tas sering jadi korban perampasan dan perampokan.
"Kami anjurkan tidak jalan sendirian dan keluar dari rombongan," begitu pesan Darmastuti Nugroho, tim advance Biro Pers, Media, dan Informasi Istana.
Pendapatan perkapita di Liberia hanya 250 dolar AS per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang kini sudah mencapai 4.000 dolar AS per tahun. Keamanan dan stabilitas negeri ini sangat tergantung kepada pasukan Misi PBB untuk Liberia (UNMIL) yang jumlahnya kekuatannya sampai 10.000 orang.
Negeri ini memang dilanda perang saudara sejak 1989 dengan jumlah korban jiwa sampai 250.000 orang. Pada masa itu hampir semua warga terlibat dalam kekerasan. Bahkan anak-anak kecil dan remaja dijadikan serdadu. Mereka dipaksa dan dilatih untuk membunuh, bahkan membunuh keluarganya sendiri. Anak-anak yang bau kencur itu kemana-mana membawa senapan otomatis AK-47 atau M-16.
Kini anak-anak itu tidak lagi menggendong senjata, namun tampak masih berkeliaran tidak sekolah. Rumah-rumah yatim piatu dan penyandang cacat cukup banyak di sepanjang perjalanan antara Bandara dan pusat kota Monrovia.
Forum Rakyat
Berdiri di tengah terik matahari di pinggir jalan, Thomas Doe Nah, seorang aktivis HAM, memimpin unjuk rasa yang bertajuk "Forum Rakyat" untuk menandingi pertemuan Panel Tinggi PBB yang tenganh merumuskan konsep dan program pembangunan global pasca 2015, yaitu saat berakhirnya Program Tujuan Pembangunan Milenium MDGs.
Saat rombongan Presiden SBY dan Perdana Menteri Inggris David Cameron melenggang di boulevard menuju Royal Hotel tempat berlangsungnya pertemuan Panel Tinggi PBB, puluhan anak muda Liberia berkumpul di halaman gedung YWCA untuk menyuarakan suara pedih mereka yang masih dilanda kemiskinan dan keterbelakangan.
Pembangunan, kata Doe Nah, bukan membangun jembatan-jembatan, gedung-gedung tinggi, atau proyek-proyek mercusuar. Pembangunan itu, lanjutnya, adalah proses membangun manusia.
"Liberia adalah negeri kaya raya. Kami punya bijih besi, kami punya hutan tropis, kami punya emas, punya berlian. Tapi kami tidak mampu menyekolahkan anak. Kami bahkan tidak bisa menjamin semua orang bisa tinggal di rumah layak dan makan yang cukup," katanya disambut teriakan dan tabuhan gendang khas Afrika.
Peter Quaqua, Ketua Asosiasi Pers Liberia, mengatakan upaya pengentasan kemiskinan harus dimulai dari pemerintahan yang bersih.
"Orang-orang yang kini duduk di kekuasaan, para pemimpin kami...yang mengeksploitasi sumber daya alam Liberia adalah yang paling bertanggungjawab terhadap kemiskinan rakyat," katanya dengan lantang tanpa tedeng aling-aling.
"Korupsi merajalela. Akibatnya, kami tidak bisa memberi air bersih kepada warga, listrik ke rumah-rumah dan fasilitas kesehatan sehingga ibu-ibu meninggal saat melahirkan bayinya. Kami membayar pajak, tapi kami tak mendapat apa yang semestinya kami dapatkan," kata Quaqua.
Apa yang disaksikan di sepanjang jalan menuju pusat kota membuat rombongan Presiden Indonesia itu bersyukur.
"Ternyata Indonesia lebih indah dan jauh lebih baik dibanding apa yang disaksikan di Liberia," kata Menteri Perindustrian MS Hidayat yang satu bus dengan para Pemimpin Redaksi.
Para pemimpin redaksi menimpali dan membenarkan. (*)
*) Akhmad Kusaeni adalah Direktur Pemberitaan/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA