Samarinda (ANTARA Kaltim) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur, Prof Sarosa Hamongpranoto, SH. MHum, mengaku tidak rela terjadinya pemukulan terhadap wartawan.
"Saya tidak rela dan sangat prihatin kalau teman-teman dari jurnalis mendapat perlakuan seperti itu, saya emosi," kata Sarosa, sambil menahan air mata, saat dimintai pendapatnya terkait dengan pemukulan wartawan oleh sekelompok orang yang diduga preman, saat menjalankan tugas jurnalistik meliput aksi demo mahasiswa, Selasa.
Pengamat Politik dan Hukum yang juga Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Mulawarman Samarinda itu mendesak pihak kepolisian mengusut tuntas dan menangkap pelaku penganiayaan terhadap wartawan tersebut.
"Saya sangat prihatin sebab masih ada kekerasan yang dialami rekan pers di era demokrasi seperti saat ini. Mereka bekerja dilindungi oleh Undang-undang, sehingga semestinya dalam menjalankan tugas jurnalisitik, para pekerja pers harus mendapat perlindungan," katanya.
"Namun, apa yang terjadi kemarin (Selasa) dapat menjadi preseden buruk sebab seorang wartawan justru mendapat kekerasan saat polisi mengawal unjuk rasa tersebut. Jadi, polisi seharusnya ikut bertanggung jawab dengan mengusut tuntas terjadinya kekerasan pada wartawan, termasuk adanya dugaan provokasi oleh oknum polisi sehingga terjadi peristiwa itu," kata Prof Sarosa.
Unjuk rasa, kata Sarosa, merupakan proses demokrasi dalam menyampaikan ekspresi sehingga harus mendapat pengawalan polisi.
"Jika unjuk rasa itu dilakukan sudah sesuai prosedur tentunya penyampaian ekspresi itu resmi dan polisi bagian dari proses demokrasi itu yang berperan mengawal proses penyampaian pendapat itu. Sehingga, jika orang luar yang tidak berkepentingan pada proses itu apalagi kalau sampai memukul, itu tidak dibenarkan dan polisi harus bertanggung jawab dalam artian mengusut dan memproses pelakunya," katanya.
Kasus pemukulan terhadap wartawan tersebut terjadi Senin sore (22/10) saat berlangsung demo mahasiswa memperingati satu tahun meninggalnya Rahmadan alias Madan yang diduga tewas akibat dianiaya polisi pada September 2011.
Saat polisi berhasil memukul mundur pengunjuk rasa dan menangkap beberapa orang mahasiswa, Asri Sattar, kontributor ANTV Samarinda memprotes penangkapan dan pemukulan oleh oknum satpam sebuah mal.
Namun, protes tersebut justru berbuntut pemukulan oleh sekelompok preman yang berlangsung di hadapan polisi.
Ironisnya, pemukulan yang dilakukan sejumlah orang yang juga ikut menganiaya mahasiswa yang diamankan polisi tersebut dipicu provokasi oknum polisi berpakaian preman yang menyebut wartawan sebagai mencari sensasi. (*)
Prof Sarosa: Saya Tidak Rela Wartawan Dipukuli
Rabu, 24 Oktober 2012 0:33 WIB