Jakarta (ANTARA) - Pencarian makna berita serta penyajian makna berita merupakan pekerjaan rumah dan tantangan media massa. Jurnalisme dengan pemaknaan itulah yang diperlukan bangsa sebagai penunjuk jalan bagi penyelesaian persoalan-persoalan genting bangsa ini.
Dalam jurnalisme makna, yang dicari bukan sekadar fakta dan masalah yang tampak, melainkan latar belakang, riwayat, dan prosesnya, serta hubungan kausal ataupun hubungan interaktif.
Setelah mengetahui makna, dan tahu duduknya perkara, pencarian dan pendekatan solusi perlu dipaparkan dengan pendekatan yang bermuatan keadilan, persamaan, serta pembelaan kepada yang lemah dan kepada yang banyak.
Begitu dalam dan jelas pernyataan almarhum Jakob Oetama dalam jurnalisme makna, yang disampaikan dalam pidato promosi saat pendiri Harian Kompas itu memperoleh gelar Doktor honoris causa (HC) di bidang komunikasi dari Universitas Gadjah Mada pada 17 April 2003 silam.
Pak JO, demikian sapaan akrab salah seorang begawan pers Indonesia ini, telah berpulang pada 9 September 2020. Namun, pikiran-pikiran besarnya masih terngiang dan terasa begitu relevan, terutama pada tantangan media dewasa ini.
Pun demikian pada suasana peringataan Hari Pers Nasional (HPN) 2021. Sebuah peringatan tahunan yang terasa begitu berbeda, karena kita masih berjuang keras melawan pandemik Covid-19.
Setahun lalu, saat Hari Pers Nasional 2020 digelar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, diputuskan bahwa Kendari, Sulawesi Tenggara, menjadi tuan rumah HPN 2021. Namun, karena badai pandemik itu datang dan belum juga reda, maka pusat perhelatan HPN 2021 diputuskan dialihkan ke Jakarta, dengan berlangsung secara virtual di seluruh Indonesia.
Baca juga: Ketum PWI umumkan tiga agenda puncak HPN 2021 pada 9 Februari
Baca juga: Anies: DKI merasa terhormat HPN 2021 diselenggarakan di Jakarta
Keputusan mengalihkan sentra pelaksanaan HPN 2021 ke Ibu Kota Negeri juga diikuti dengan pemilihan tema yang dirasa sangat tepat sebagai spirit perlawanan terhadap massif-nya serangan virus Corona. Tema besar HPN 2021 kemudian ditetapkan menjadi: "Bangkit Dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers Sebagai Akselerator Perubahan".
Covid-19 sebagai "gamechanger" kehidupan sejak akhir 2019 membutuhkan peran media sebagai salah satu katalisator dan perubahan. Hampir 1 juta orang di Indonesia dan lebih dari 98 juta orang di dunia terpapar serangannya dengan korban jiwa global tak kurang dari 2,1 juta jiwa, menunjukkan betapa besar ancaman katastrofe ini.
Pemerintah sudah berjuang keras melalui berbagai strategi komunikasi, baik lewat Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanganan Bencana, pemerintah daerah dan berbagai institusi lain. Namun, peran besar media, baik media massa konvensional seperti media cetak, radio dan televisi, media sosial dan layanan over the top, memiliki peran yang amat besar untuk memastikan pesan positif dari pemerintah sampai tepat ke tujuan.
Ibarat menyemai rumput hijau ke padang luas, itulah upaya pemerintah menyebarkan informasi positif ke padang belantara luas nan kering ini. Tanpa ada medium yang tepat seperti tanah yang baik, rumput itu tak akan dapat tumbuh subur sebagaimana yang diharapkan. Media massa adalah medium yang memupuk subur informasi positif nan tersemai itu, hingga berbuah baik menjadi perubahan perilaku publik di era pandemik ini.
Pada peringatan Hari Pers Nasional 2021 ini, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mengajak insan media untuk kembali bersama mengampanyekan semangat 3E + 1N. Sebagaimana "Jurnalisme PSO" ANTARA mengembangkannya sejak beberapa tahun lalu, media secara luas diajak menjalankan misi Educate, Enlightment, Empowering dan semuanya dibalut dalam satu semangat: "Nasionalisme".
Educate. Pers diminta untuk kembali pada salah satu dari empat fungsi dasar media massa: memberikan pendidikan, to educate. Mendidik juga berarti mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana terungkap jelas di Pembukaan UUD 1945 sebagai salah satu tujuan kemerdekaan dan bernegara Indonesia.
Baca juga: Anies: Media garda terdepan edukasi penanganan COVID-19
Baca juga: PWI beri 5 rekomendasi bagi kemajuan kebudayaan daerah pada HPN 2021
Ancaman berupa hoaks dan disinformasi masih saja terjadi, termasuk di saat pelaksanaan vaksinasi melawan Covid-19 sudah diluncurkan secara resmi. Saatnya media mengambil peran menjadi sarana edukasi bagi seluruh negeri.
Enlightment. Memberikan pencerahan. Bak pelita di kegelapan. Segala pertanyaan kerap muncul dan informasi menjadi simpang siur di masa serba tak pasti ini. Di sinilah media dituntut peran-nya menjadi penyinar, sumber terang. Menjelaskan hal yang belum jelas. Menenangkan yang tak karuan. Juga menjadi jawaban atas berbagai pertanyaan.
Empowering. Media diharapkan juga bisa memberdayakan publik. Pembaca, pendengar, pemirsa dan warganet tak hanya menjadi konsumen atau objek semata. Dengan menyimak informasi dari media massa terpercaya dan memperoleh berita yang kredibel serta dapat dipertanggungjawabkan, masyarakat pun bisa berperan sebagai agen sosial dan agen perubahan. Menyebarluaskan kabar positif itu sehingga lingkungan sekitar tergerak untuk menjalankan perubahan perilaku.
"Nasionalisme". Pada kondisi inilah, di saat kita mengalami perang besar tanpa mengangkat senjata dan beradu peluru mesiu, selimut nasionalisme seharusnya membungkus setiap pemberitaan di media massa. Ajakan melakukan 3M, imbauan untuk percaya dan siap menjalankan vaksinasi, serta berbagai seruan lain agar perang melawan Covid-19 ini dapat segera berakhir dan bersama-sama kita menangkan!
*) Prof. Dr. Widodo Muktiyo, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika