Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Tragedi tenggelamnya KM Surya Indah di Sungai Mahakam, tepatnya di Kampung Sebelang, Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat, yang menewaskan 28 penumpang menjadi potret buram transportasi ke pedalaman Kalimantan Timur.
Kamis pagi (13/9) sekitar pukul 07. 00 Wita, puluhan penumpang bersuka cita ketika KM Surya Indah mulai bergerak meninggalkan Dermaga Mahakam Hulu.
Tak terkecuali, Lamuji (55) bersama Sumini (52), istrinya, yang sudah tidak sabar segera tiba di rumahnya di Long Bagung, Kutai Barat setelah menunggu di atas kapal selama hampir 12 jam.
"Saya sudah berada di atas KM Surya Indah pada Rabu petang (12/9) dan kapal baru berlayar Kamis pagi. Kami ingin segera tiba di Long Bagung setelah meninggalkan rumah selama 25 hari untuk mudik lebaran serta bertemu kedua anak kami di Nganjuk Jawa Tengah," ungkap Lamuji sambil berupaya menyembunyikan duka mendalam di dekat jenazah istrinya yang ikut menjadi penumpang tewas tenggelamnya KM Surya Indah tersebut.
Namun, di balik keriangan itu ada petaka mengintai yang tidak diketahui para penumpang yakni terjadinya kebocoran kapal sejak meninggalkan Dermaga Mahakam Hulu.
Tanpa sepengetahuan penumpang, kapal tergolong megah bagi pelayaran ke pedalaman karena seluruh ruangan dilengkapi fasilitas AC itu ternyata telah mengalami kebocoran.
Walaupun telah ditambal seadanya, KM Surya Indah yang dinakhodai Aspul itu terus melaju membelah Sungai Mahakam yang memiliki lebar antara 400 hingga 700 meter dengan tujuan Dermaga Melak, Kabupaten Kutai Barat, tanpa memperhatikan sisi keamanan puluhan penumpang yang berada di atas kapal tersebut.
"Saya sudah merasakan kejanggalan sebab sepanjang perjalanan kapal itu terus bergoyang padahal arus Sungai Mahakam terlihat tenang. Dari Dermaga Mahakam Hulu, saya melihat jumlah penumpang tidak banyak yakni hanya puluhan orang saja tetapi yang banyak adalah barang yang terdiri dari tumpukan kotak dan karung berisi berbagai kebutuhan pokok," kata Lamuji.
Sebelum petaka terjadi, atau sekitar 16 jam perjalanan dari Dermaga Mahakam Hulu Samarinda, tanpa menyadari bahaya yang akan menghadang, para penumpang yang kelelahan mulai terlelap.
"Saat itu, semua penumpang yang berada di lantai satu tertidur dan tiba-tiba air masuk ke dalam kapal, seperti sebuah gelombang. Saya berada di lantai satu bersama puluhan penumpang lainnya, sehingga saat kapal tenggelam semua penumpang yang ada di bawah terjebak dan tidak bisa keluar, termasuk istri saya," katanya.
"Saya berhasil keluar dari lantai satu setelah memegang kaki seorang ABK, namun di tengah kepanikan, tangan istri saya terlepas sehingga dia menjadi salah satu korban tewas tenggelamnya kapal itu," kata Lamuji.
Tanpa Tiket
Musibah tenggelamnya KM Surya Indah yang menewaskan 28 penumpang dan tidak diketahuinya jumlah pasti penumpang yang hilang menjadi gambaran buruknya sistem pelayaran ke pedalaman Kaltim tersebut.
"Kami langsung naik ke kapal dan baru dimintai uang setelah beberapa jam perjalanan, itupun tidak diberi tiket," kata salah seorang penumpang KM Surya Indah yang berhasil selamat, Lamuji.
Tidak adanya pengawasan dan data pasti jumlah penumpang KM Surya Indah kata seorang warga Samarinda yang mengaku beberapa kali menggunakan alur transportasi Sungai Mahakam itu mengindikasikan minimnya jaminan keamanan pada moda transportasi pedalaman Kaltim tersebut.
"Setiap orang yang menggunakan kapal ke Kabupaten Kutai Barat bisa langsung naik dan hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Penumpang baru dimintai uang setelah dalam perjalanan, tanpa menggunakan tiket. Jadi, bagaimana bisa menghitung jumlah penumpang jika tidak ada tiket," kata Adi.
Sejak proses pencarian korban hilang KM Surya Indah, sejumlah kerabat penumpang terlihat kebingungan mencari informasi terkait jumlah penumpang yang berhasil selamat dan yang meninggal dan masih dinyatakan hilang.
Umumnya, mereka mengaku kerabatnya tidak terdaftar pada manifes KM Surya Indah.
"Saya heran, anak asuh saya yang bernama Fitri Aryani tidak terdaftar bak dalam pencarian maupun korban selamat padahal dia berangkat ke Kutai Barat bersama tujuh orang keluarganya menggunakan KM Surya Indah," kata Yayang Suryani, salah seorang kerabat penumpang KM Surya Indah.
Fitri Aryani akhirnya dinyatakan menjadi salah satu penumpang tewas setelah jenazahnya ditemukan tak jauh dari lokasi tenggelamnya KM Suya Indah tersebut.
Minimnya perhatian pada petaka tenggelamnya KM Surya Indah dengan jumlah korban tewas melebihi kasus ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara dan peristiwa jatuhnya pesawat Piper yang menewaskan empat orang tetapi justru mendapat porsi perhatian yang lebih kecil, juga menjadi sisi buram pelayaran ke pedalaman tersebut.
Sejak awal dikabarkan tenggelam, yakni pada Kamis (13/9) hingga hari ketujuh yakni Rabu (19/9) tidak terlihat adanya aktivitas layaknya pada saat kasus pesawat jatuh di Bandara Temindung Samarinda.
Pada peristiwa jatuhnya pesawat Piper Navajo, ratusan personil baik dari kepolisian, TNI dan Basarnas terlihat sudah berada di Bandara Temindung Samarinda sejak hari pertama, walaupun lokasi jatuhnya pesawat itu jauh dari bandara yakni di kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) Kabupaten Kutai Timur.
Bahkan, empat unit helikopter ikut dikerahkan serta sejumlah pejabat terlihat kerap berada di Posko Pesawat Jatuh di Bandara Temindung Samarinda.
Pemandangan justru terlihat berbeda ketika KM Surya Indah dinyatakan tenggelam dan tidak terlihat adanya posko di Dermaga Mahakam Hulu, sebagai tempat informasi bagi kerabat penumpang yang ingin mencari kepastian nasib keluarga mereka.
Bahkan, tidak terlihat kehadiran para pejabat maupun anggota DPRD di Dermaga Mahakam Hulu untuk melihat langsung kondisi dermaga dan kapal yang melayani pelayaran ke pedalaman Kaltim tersebut padahal jumlah korban tewas sukup mencengangkan.
"Kami tidak melihat adanya posko dan kehadiran pejabat pada kasus tenggelamnya KM Surya Indah. Pemandangan itu berbeda ketika kasus jatuhnya pesawat Piper apalagi ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara yang justru dihadiri menteri. Banyak kerabat penumpang yang bingung sebab di Dermaga Mahakam Hulu tidak ada posko yang menjadi tanda jika telah terjadi musibah" kata salah seorang warga Samarinda, Jalil.
Jalur Sembako
Mahakam merupakan nama sebuah sungai terbesar di Provinsi Kalimantan Timur yang bermuara di Selat Makassar. Sungai dengan panjang sekitar 920 km ini melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu, hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian hilir tersebut sudah puluhan tahun dijadikan sebagai jalur transportasi menuju ke pedalaman.
Selain jalur transportasi penumpang, alur Sungai Mahakam juga menjadi salah satu jalur ditribusi berbagai kebutuhan pokok penuju pelosok di wilayah Kabupaten Kutai Barat.
"Ada 28 unit kapal yang melayani pelayaran hingga ke pelosok Kaltim di dermaga ini (Dermaga Mahakam Hulu) yang terdiri dari bus air khusus penumpang dan truk air untuk barang," kata Kepala Dermaga Mahakam Hulu Samarinda, Sukarja.
Setiap hari menurut Sukarja terdapat dua unit kapal yang berangkat ke Kabupaten Kutai Barat, satu unit menuju ke Dermaga Melak dengab jarak tempuh hingga 18 jam dan satu kapal tujuan Long Bagung dengan perjalanan dua hari dua malam.
"Harga tiket untuk pelayaran ke Dermaga Melak Rp120 ribu per orang dan yang terjauh yakni ke Long Bagung dengan harga tiket Rp250 ribu per orang. Untuk transportasi truk air yang melayani pelayaran khusus angkutan barang hanya pada waktu tertentu saja, tergantung kebutuhan pasokan ke pedalaman," tambah Sukarja.
Terkait keamanan pelayaran ke pedalaman Kaltim itu menurut Sukarja, secara rutin dilakukan pengecekan kelengkapan dokumen dan alat keselamatan pelayaran.
Termasuk katanya, setiap tiga bulan ke-28 armada transportasi ke pedalaman itu dilakukan dok ringan.
Terpenting, dokumen dan alat keselamatan pelayaran dan setiap tiga bulan sekali, semua kapal dilakukan dok ringan atau perbaikan, katanya.
"Untuk batas angkut, selain berdasarkan data dokumen para nakhoda juga memiliki pengalaman dengan melihat batas kapal. Jika muatan melebihi kapasitas maka para nakhoda tidak akan berlayar dan memilih menurunkan penumpang atau barang dan itulah yang mereka lakukan selama ini, di samping pengawasan dari pihak dermaga," katanya.
Bagi warga pedalaman, jalur transportasi Sungai Mahakam menjadi urat nadi untuk memenuhi berbagai kebutuhan pokok.
"Sudah belasan tahun saya menggunakan kapal untuk mendistribusikan berbagai kebutuhan pokok ke Kutai Barat. Selain murah, jalur ditribusinya juga lebih ringkas dibanding menggunakan jalur darat," kata salah seorang ditsributor kebutuhan pokok, Hatta.
Untuk sekali distribusi kebutuhan pokok menggunakan kapal kata Hatta, biayanya hanya berkisar Rp300 ribu namun jika menggunakan truk biaya yang harus dikeluarkan mencapai hingga lebih Rp1 juta.
"Kalau mau cepat ya menggunakan truk tetapi resikonya harus mengeluarkan biaya lebih besar sehingga harga barang yang didistribusikan kepada warga di pedalaman juga tentunya akan semakin mahal. Tingginya biaya dengan menggunakan jalur darat itu akibat jalan menuju ke Kabupaten Kutai Barat, rusak," kata Hatta.
Setiap pekan, Hatta mengaku mendistribusikan berbagai kebutuhan pokok ke Muara Pahu hingga Rp100 juta.
Bukan hanya kebutuhan pokok berupa beras, mie instan, minyak goreng dan gula yang didistribusikan ke Kabupaten Kutai Barat menggunakan jalur transportasi sungai, sayur-sayuran menjadi salah satu kebutuhan yang dipasok dari Samarinda.
"Setiap minggu saya membeli berbagi sayuran untuk dijual ke Muara Pahu," kata salah seorang pedagang, Angraini.
Senada dengan Hatta, selain murah transportasi dengan kapal laut juga lanjut Angraini lebih efisien sebab hanya sekali memindahkan barang dari kapal menuju rumahnya di Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat.
"Jika lewat jalur darat harus ganti mobil hingga tiga kali baru sampai di rumah dan tentunya biayanya lebih mahal. Setiap minggu, saya ke Samarinda membeli sayuran kemudian akan saya jual ke Muara Pahu dengan rata-rata modal Rp4 juta," kata Angraini.
Pasca tenggelamnya KM Surya Indah di Sungai Mahakam, ternyata tidak menyurutkan warga menggunakan jalur transportasi sungai ke pedalaman Kaltim.
"Tidak ada perubahan dan tetap ramai seperti biasa," ungkap Jamli, seorang nakhoda truk air ke pedalaman Kaltim.
Nakhoda KM Berkat Usaha yang melayani pelayaran angkutan kebutuhan pokok menuju Long Bagung itu mengaku sudah lebih 10 tahun menahkodai kapal ke pedalaman Kaltim.
"Selama ini, jalur transportasi di Sungai Mahakam tetap aman sebab para nakhoda sudah memiliki pengalaman dan mengenal karakter sungai. Hanya saja, yang sangat mengganggu dan membahayakan pelayaran kapal penumpang saat ini yakni, banyaknya ponton pengangkut batu bara yang beroperasi hingga malam hari," kata Jamli. (*)