Balikpapan (ANTARA) - Ketika kami tiba di Kampung Long Duhung,Kabupaten Berau pekan kedua Maret lalu, panen padi sudah selesai. Orang Mapnan sekarang sedang menghitung berapa banyak beras dan gabah yang didapatnya, dan cukup untuk berapa lama nantinya.
“Panen sedang tidak begitu bagus. Tapi ini cukuplah,” kata Kepala Adat Punan Mapnan Samion Eng di pondoknya di tepi Sungai Bluq Glop. Ditemani istri, anak, dan cucunya, Samion, 65 tahun, tengah melepaskan padi dari tangkainya. Seikat tangkai padi ditaruh di atas tikar, lalu diinjak-injak dengan cara yang spesial.
"Tangkainya pertama ditahan dengan satu kaki, baru kaki yang satunya merontokkan bulir padi. Kaki yang tadi merontokkan, kemudian jadi kaki yang menahan, gantian kaki yang menahan naik jadi yang merontokkan," terang Roslina, istri Samion, menjelaskan gerakan kaki suaminya.
"Kayak joget dong mak,” cetus Ina Sawitri, satu dari dua perempuan di rombongan kami.
“Iya memang, bisa seperti itu. Seperti orang berjoget,” kata Samion tertawa.
Maka Ina, Bambang, dan Zulkaromi pun bergantian ikut berjoget merontokkan bulir-bulir padi dari tangkainya.
Suasana halaman pondok sederhana itu pun jadi ceria, mengusir lelah dari perjalanan bermobil lebih kurang 3 jam dari Tanjung Redeb, atau 2 jam dari simpangan besar Labanan.
Kampung Long Duhung adalah bagian dari sejumlah kampung Orang Mapnan di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Saat ini kampung itu dihuni 147 jiwa dari 38 keluarga. Long Duhung, sesuai namanya, adalah Sungai Duhung, tempat asal orang-orang Mapnan di tepi Bluq Glop saat ini.
"Kami pakai terus nama itu, untuk mengingatkan asal kami,” kata Samion, yang akrab dipanggil Pak Adat karena jabatannya.
Ladang Samion saat ini ada di tepi jalan besar, masih sekitar 10 menit bermobil dari kampung. Ladang itu ada di depan pondok di sebelah kanan, dibatasi dengan parit lebar.
Di lahan lebih kurang setengah hektar itu, rumpun-rumpun padi masih menyisakan jerami yang tegak berdiri.
“Di sini kami panen dengan ani-ani,” kata mak Roslina. Kaum perempuan terutama, turun ke ladang untuk memanen plai, padi dalam kosa kata Punan.
Tugas mereka memotong tangkai padi dari rumpunnya, lalu memasukkannya ke dalam bakul yang digendong.
Orang Punan menanam padi ladang dari varietas Mayas. Padi ini terkenal di gunung sebab menghasilkan beras yang setelah ditanak menjadi nasi yang wangi dan pulen.
“Kalau mau bisa dimakan begitu saja tanpa lauk,” kata Misakh Lungui, 60 tahun, kepala kampung Long Duhung sebelum dijabat Wesley sekarang.
Namun demikian, seperti dituturkan Misakh, menanam padi bukanlah keahlian alami Orang Punan Mapnan.
“Kami berburu dan mengumpulkan buah-buah hutan,” tuturnya. Karena itu, makanan awal Orang Mapnan juga bukan nasi, tapi daging binatang dan buah-buahan hutan.
Menurut dokumen Profil Kampung Long Duhung, Orang Mapnan mulai mengenal tata cara bertanam padi dan mengolahnya di awal tahun 1970an.
Adalah seorang yang disebut Guru Mincai yang memperlihatkan cara berladang dan bertanam padi, dan kemudian mengolahnya untuk mendapatkan beras yang wangi saat dimasak itu.
“Ada juga yang bilang Orang Punan belajar dari Orang Kenyah,” tutur Erick Kelana, relawan pendamping masyarakat dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Termasuk di dalamnya cara berladang sistem gilir balik.
Setelah dirasa satu lahan tak subur lagi, Orang Mapnan akan berpindah berladang ke lahan lainnya dan membiarkan lahan pertama kembali ditumbuhi semak belukar.
“Sesuai kesepakatan kami, satu keluarga punya 7 lahan,” kata Misakh. Bila satu lahan ladang digarap selama setahun, maka baru pada tahun ke-8 ladang pertama itu yang sudah kembali menjadi hutan itu dibuka dan ditanami kembali.
“Dan ada kawasan yang tidak boleh ada kegiatan berladang di dalamnya,” timpal Dixon, seorang ranger, jagawana, dan bila di masa lampau, pastilah ia seorang prajurit Punan yang tangguh dan mengenal setiap jengkal hutan di dalam teritori Long Duhung itu.
Hingga hari ini, meski sudah menetap dan berladang, hutan masih dan adalah segala-galanya bagi Orang Mapnan. Mereka mendapatkan hampir semua yang diperlukannya dari hutan. Bagi mereka, hutan bukan sekedar kumpulan tegakan pohon, tapi sumber kehidupan.
Melestarikan hutan
Sejak keluar dari jalan aspal di Segah selepas Sido Bangen, jalan ke Kampung Long Duhung, Kecamatan Kelay, Berau, adalah mengikuti jalan tanah yang sebagian berpasir dan sebagian lagi jalan tanah laterit.
Bila hujan, jalan itu dipastikan akan licin dan bila pengemudi tak cekatan, mobil akan mudah tergelincir. Selama setengah jam, pemandangan di kiri dan kanan adalah lahan terbuka dan kemudian perkebunan sawit.
Lalu padang semak, dan kemudian kawasan dengan pohon-pohon kecil. Sepanjang jalan itu ada setidaknya tiga lapangan terbuka. Satu di kanan yang sudah mulai tertutup semak, satu di kiri jalan dengan sejumlah kayu gelondongan tergeletak, dan satu lagi bak showroom alat berat. Sejumlah eskavator dan buldozer, juga truk-truk, parkir berderet-deret.
"Itu lapangan penumpukan kayu dari perusahaan-perusahaan yang dulu mendapat izin menebang kayu di sini,” tutur Matias, Ketua Badan Permusyawaratan Kampung Long Duhung. Jalan itu pun dulu dibuat dan dipelihara perusahaan penebangan kayu.
Lalu di mana hutan yang menjadi sandaran hidup dan jiwa Orang Mapnan di Long Duhung?
“Selamat datang di Wungun,” kata Dixon ketika ketinting, perahu bermesin tempel dengan baling-baling as panjang, yang dikemudikannya memasuki sebuah muara sungai kecil di Bluq Glop, 15 menit ke hulu dari kampung.
Sungai (bluq) Enyiu berada di bawah bayangan pohon-pohon besar. Sinar matahari sore sudah tidak banyak lagi menembus kanopi hutan, membawa suasana mencekam bagi yang baru pertama kali masuk ke dalamnya.
“Tangganya sudah lapuk,” kata Misakh Lungui, menunjuk tebing sungai tempat biasa mereka naik ke darat. Sudah tidak ada tangga lagi di situ, tapi Flora, istri Misak, tak kesulitan untuk naik ke darat.
Begitu juga para perempuan yang lain seperti Marsiti yang bertubuh mungil namun lincah. Dengan berpegang pada pohon kecil di ujung tebing, sebentar semua sudah naik ke darat.
Ada jalan setapak memintas hutan yang turun lagi ke sungai di sisi sebelahnya, dan bersambung ke daratan di seberangnya.
Di ujung jalan setapak itu, lebih kurang seratus meter dari sungai, di bagian tertinggi tanah lapang, berdiri sebuah pondok papan sederhana.“Ini pondok kami menginap untuk berbagai acara,” terang Misakh. Di dalam pondok bisa untuk berbaring 15 orang. “Dipas-paskanlah,” kata lelaki yang lama menjadi kepala kampung Long Duhung itu.
Urusan Orang Mapnan di hutan apalagi kalau bukan berburu, mengumpulkan buah-buahan, dan bila diperlukan, mencari tanaman obat.
Sekali-sekali ada pertemuan dan bincang-bincang. Di masa kekinian sekarang, di lapangan di depan pondok juga digelar upacara peringatan hari kemerdekaan, lengkap dengan pengibaran bendera merah putih yang diiringi lagu Indonesia Raya.
Hutan Wungun Bluq Enyiu ini ada di sebelah timur kampung. Luasnya 1.400 hektare. Sejak April 2016 warga secara resmi memintanya dikecualikan dari konsesi PT Mardhika Insan Mulia untuk dikelola masyarakat.
Menurut Misakh, Hutan Wungun itu menyediakan mereka hewan buruan seperti rusa dan babi hutan, dan beragam buah-buahan hutan. Langsat dan durian ada diantaranya.
Di cabang-cabang pohon-pohon merantinya bergantungan sarang-sarang lebah, menyediakan madu dan royal jelly yang bernilai ekonomi tinggi selain satu obat terbaik untuk menjaga kesehatan.
“Leluhur kami juga dimakamkan di sini,” tutur Dixon, sambil mengunyah langsat yang dipetiknya sehari sebelumnya dari hutan, ia mengenang masa Orang Mapnan sebagai suku pengembara penjelajah hutan.
Untuk melestarikan hutan itu pula sejak 2013 Orang Mapnan antusias terlibat dalam Program Karbon Hutan Berau, program kemitraan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi Kalimantan Timur, pemerintah Kabupaten Berau, dan didukung sejumlah mitra, diantaranya Yayasan Konservasi Alam Nusantara, lembaga swadaya masyarakat yang masih lebih dikenal dengan nama TNC, The Nature Conservancy.
"Program itu bertujuan bagaimana Berau dapat tetap membangun sambil mempertahankan hutan," kata Wakil Bupati Berau Agus Tantomo dalam kesempatan terpisah.
Warga Long Duhung pun rajin berpatroli di Wungun. Tidak hanya Dixon, bahkan juga kaum perempuan seperti Marsiti. Mendatangi hingga ke sudut-sudut hutan dan berhari-hari perjalanan, memastikan hutan mereka baik-baik saja.
"Itu aksi nyata yang kami bisa lakukan,” kata Misakh Lungui.