Jakarta (ANTARA) - Sosiolog sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI) Imam B Prasodjo mengatakan apabila pemerintah memberlakukan pembatasan sosial skala besar untuk mengurangi penyebaran COVID-19, maka kaum marginal atau kelompok masyarakat ekonomi lemah perlu diperhatikan secara serius.
"Intinya adalah orang-orang marginal seperti buruh harian dan masyarakat miskin yang betul-betul tidak punya gantungan hidup tetap, harus tertolong dulu," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Apabila hal itu telah diterapkan atau dilakukan pemerintah secara baik, maka ia meyakini tidak akan ada masalah pada penerapan opsi karantina wilayah, karantina lokal, atau pembatasan sosial skala besar.
"Itu fokusnya. Masalah di lockdown atau karantina wilayah dan sebagainya selagi itu semua ditangani, itu tidak akan menimbulkan letupan seperti yang terjadi di India," kata dia.
Ia menjelaskan situasi yang terjadi saat ini bisa disebut lebih mengarah pada pembatasan sosial skala besar bukan karantina wilayah atau lockdown.
Yang membedakan dua hal itu adalah karantina wilayah atau lockdown, masyarakat tidak boleh keluar masuk tanpa izin, sedangkan pembatasan sosial skala besar sedikit lebih longgar dimana masyarakat masih bisa lalu lalang.
"Contohnya sekarang itu sekolah diliburkan, kerja juga diliburkan," ujar dia.
Jadi dapat diartikan karantina wilayah, masyarakat tidak bisa melakukan mobilitas secara bebas. Menurut dia, sebenarnya saat ini hal itu sudah diterapkan oleh masyarakat di perumahan atau kelurahan tertentu.
Terkait negara atau kelompok masyarakat yang sudah pernah menerapkan pembatasan sosial skala besar, Imam mengaku tidak mengetahui persis. Namun bisa saja hal tersebut sudah pernah dilakukan sehingga Indonesia melahirkan Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Meskipun demikian, sosiolog kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah 60 tahun silam tersebut mengatakan masih perlu adanya Peraturan Pemerintah (PP) dari UU nomor 6 tahun 2018 tersebut agar lebih detail dalam pelaksanaannya.
"Kita tunggu seperti apa PP dari UU nomor 6 tahun 2018 tersebut," katanya.
Terpisah, analis kebijakan publik dari Universitas Trisaksi Trubus Rahadiansyah mengatakan dalam melakukan karantina wilayah akibat COVID-19 sebenarnya harus mempertimbangkan dua hal yakni faktor budaya dan ekonomi.
"Ada perbedaan dari masyarakat di satu wilayah dengan wilayah lainnya termasuk karakteristik penduduk yang berbeda sehingga cara penanganan COVID-19 juga berbeda," katanya.
Perbedaan karakteristik masyarakat Indonesia dengan negara lainnya itu, kata dia, yang juga menjadi pertimbangan Presiden Joko Widodo untuk tidak mengambil langkah lockdown dalam mengatasi penyebaran COVID-19.
Namun, ia mengatakan jika akhirnya sejumlah daerah menetapkan karantina lokal sebenarnya hal itu sudah merujuk pada payung hukum tersendiri dan menteri dalam negeri sudah memperbolehkannya dengan berbagai pertimbangan.