"Kalau menurut pantauan yang kami lihat, bahwa Telegram ini tidak harus menyertakan identitas yang lengkap dalam membuat akun. Beda dengan Facebook, aplikasi tersebut memasukkan data nomor, data diri, dan harus dikonfirmasi benar. Kalau di Telegram tidak," kata Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir di Jakarta, Selasa.
Menurutnya kelompok radikal baru menyadari hal tersebut, sehingga celah dari sistem keamanan Telegram dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota lainnya.
BNPT menemukan pembicaraan yang memuat cara pembuatan bom, bahkan bahan-bahan bom tersebut dijelaskan detail dengan bahan yang biasa tersedia di dapur rumah.
"Bagus kalau Telegram ingin membuka perwakilan di Indonesia dan bekerja sama dengan pemerintah melawan teroris, tapi ya terlalu lama kalau ditunggu," katanya.
Ia mengatakan Telegram disalahgunakan oleh para teroris untuk melakukan komunikasi dan koordinasi, selain itu menyebarkan materi-materi terkait terorisme.
Kementerian Kominfo telah mengirim surat elektronik enam kali tanpa jawaban, sehingga pada 14 Juli 2017 diputuskan untuk melakukan pemblokiran.
Kini, menurut dia, telah terjadi perkembangan. Pihak Telegram juga telah memulai komunikasi guna menyelesaikan persoalan ini.
Seperti dinyatakan dalam pers rilis yang disampaikan dalam konferensi pers tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara juga menyampaikan telah menerima email permintaan maaf dari CEO Telegram Pavel Durov.
"Saya sudah menerima email mengenai permintaan maaf Pavel Durov, rupanya dia tidak menyadari adanya beberapa kali permintaan dari Kementerian Kominfo 2016," katanya.
Ia mengatakan juga CEO Telegram kini telah menindaklanjuti dan mengusulkan komunikasi khusus untuk proses penanganan konten negatif khususnya radikalisme/teorisme. (*)