Kemampuan menuangkan gagasan dalam bentuk karya ilmiah maupun
ilmiah popular agaknya perlu dimiliki kalangan akademisi di berbagai
disiplin ilmu pengetahuan.
Agak ironis bila seseorang memiliki gelar profesor namun tak punya kecakapan dalam menuliskan ide-ide ilmiah-orisinalnya.
Tradisi menulis di kalangan akademisi agaknya belum mengakar di perguruan tinggi di Tanah Air.
Itu
sebabnya Pemerintah lewat Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi mewajibkan para mahasiswa jenjang strata 2 hingga strata 3 untuk
memublikasikan hasil risetnya dalam bentuk tulisan ilmiah di jurnal
ilmiah sebagai syarat pengujian sebelum dinyatakan layak menyandang
gelar magister atau doktor.
Dalam Peraturan
Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015
tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, beberapa butir yang akan
menjadi problem krusial adalah pewajiban mahasiswa program magister
menerbitkan makalah sebagai karyailmiah penelitian di jurnal ilmiah
terakreditasi atau diterima dijurnal internasional.
Untuk
jenjang program doktor, Permen itu menetapkan bahwa mahasiswa wajib
menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.
Untuk
rogram doktor terapan, mahasiswa diwajibkan menerbitkan makalah di
jurnal nasional terakreditasi atau diterima di jurnal internasional atau
karya yang dipresentasikan atau dipamerkan dalam forum internasional.
Permen
Nomor 44 Tahun 2015 itu memberi batas waktu sampai 21 Desember 2017
bagi perguruan tinggi pengelola program pascasarjana untuk menerapkan
ketentuan yang ambisius itu.
Tinggal beberapa
bulan lagi para calon magister dan doktor untuk memenuhi ketentuan yang
bisa mengerem secara drastis jumlah lulusan magister dan doktor itu.
Sampai
saat ini masih banyak perguruan tinggi yang belum memiliki jurnal
ilmiah internal yang terakreditasi. Kalau toh ada, jumlahnya sangat
terbatas dan terbit secara berkala.
Yang
mengisi jurnal-jurnal ilmiah seperti itu kebanyakan mereka yang
mempunyai komitmen untuk menulis karya ilmiah dan tujuannya sering
berkaitan dengan pengumpulan kredit poin para dosen untuk memperoleh
jenjang kepangkatan yang lebih tinggi.
Rata-rata
jurnal ilmiah terbit tak lebih dari 200 halaman dan diisi sekitar
belasan karya. Jika jurnal ilmiah itu biasa diterbitkan secara berkala
secara triwulan atau kwartal, dengan penerapan Permen Nomor 44 Tahun
2015, jarak waktu penerbitan bisa diperpendek misalnya dwibulanan atau
bulanan untuk bisa menampung karya ilmiah para mahasiswa jenjang
magister.
Bagi para mahasiswa jenjang program
doktor, tantangannya lebih sulit karena harus menerbitkan karya ilmiah
di jurnal internasional.
Seleksi untuk pemuatan
di jurnal ilmiah internasional jauh lebih ketat dan sangat sulit untuk
ditembus. Namun, kini ada sejumlah jurnal ilmiah yang berbasis internet
dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi perlu menetapkan
jurnal-jurnal mana saja yang dikategorikan sebagai jurnal ilmiah yang
kredibel dan pantas diberi akreditasi.
Sebetulnya
ketentuan dalam Permen Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi Nomor 44
Tahun 2015 itu bisa disempurnakan dengan merevisinya dengan memasukkan
sejumlah penerbitan media massa sebagai salah satu ruang mengekspresikan
karya ilmiah.
Media massa yang punya tradisi
kuat dalam menerbitkan sinopsis karya ilmiah seperti Prisma agaknya
layak untuk jadi tempat menerbitkan karya ilmiah yang tentu saja perlu
disunting oleh editor media bersangkutan untuk sisi metode penulisan
ilmiah popular.
Bahkan sejumlah media massa
nasional yang berkelas yang punya kredibilitas tinggi di mata publik
dapat dijadikan parameter kelayakan memeperoleh gelar magister bagi
calon penyandang gelar magister untuk mengekspresikan hasil penelitian
mereka di kolom - kolom opini.
Alternatif lain
yang perlu dipertimbangkan adalah mendorong lembaga-lembaga riset atau
pusat-pusat unggulan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
untuk menerbitkan jurnal ilmiah sebanyak jumlah disiplin ilmu yang
tersedia para pakarnya.
Keberagaman jurnal
ilmiah yang bisa dijadikan lahan untuk menampung karya ilmiah para
mahasiswa jenjang magister tentu akan membuka semakin banyak akses
mahasiswa menerbitkan karya ilmiah mereka.
Sulit ditembus
Untuk
jurnal ilmiah berkelas internasional, yang sangat bergengsi seperti
Nature tentu sangat sulit ditembus para mahasiswa program doktor.
Jurnal
antardisiplin ilmu yang pertama kali terbit pada 4 November 1869 itu
adalah lahan bagi (calon) peraih Nobel yang hampir mustahil disaingi
oleh calon mahasiswa doktor di sini.
Tentu
masih ada ratusan jurnal ilmiah yang bergengsi di tingkat internasional.
Namun menembus jurnal-jurnal itu pun tidaklah mudah.
Untuk
itu, salah satu jalan yang paling realistis adalah melakukan kerja sama
dengan anggota asosiasi atau komunitas pakar bidang keilmuan di tingkat
intenasional.
Label internasional bisa dilekatkan pada jurnal ilmiah yang dikelola oleh lebih dari satu pakar dari beberapa negara itu.
Jika
makna internasional itu juga bisa diberlakukan pada jurnal-jurnal
ilmiah yang terbit di mancanegara, mengirim naskah karya ilmiah ke
jurnal ilmiah di negara jiran bisa jadi alternatif.
Pilihan
lain yang pantas diperjuangkan adalah mengupayakan jurnal-jurnal ilmiah
yang ada di Tanah Air untuk mendapatkan label internasional. Promosi
untuk itu bisa dilakukan dengan mengundang pakar dari mancanegara untuk
menulis di jurnal-jurnal ilmiah yang terbit di perguruan-perguruan
tinggi di Indonesia.
Tampaknya Permen Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 tahun 2015 itu akan merepotkan
banyak pengelola program pascasarjana namun pada saat yang bersamaan
dapat dijadikan pelecut bagi kalangan akademisi untuk membangun tradisi
menuliskan gagasan ilmiah mereka. (*)