Samarinda (ANTARA Kaltim) - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Provinsi Kalimantan Timur meminta ruang hidup untuk rakyat dikembalikan seiring telah ditetapkannya Rancangan Tata Ruang Wilayah Kaltim pada 2016 yang dinilai lebih berpihak pada pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
"Dari daratan Kaltim yang seluas 12,67 juta hektare berdasarakan RTRW yang sudah ditetapkan, hanya mengalokasikan 412.096 hektare untuk lahan tanaman pangan, sementara pertambangan batu bara seluas 5,2 juta hektare dan perkebunan kelapa sawit 3,5 juta hektare," ujar Koordinator Jatam Kaltim Pradarma Rupang di Samarinda, Selasa.
Hal itu dikatakan Darma guna mendukung judicial review oleh Koalisi Masyarakat Sipil atas RTRW yang telah ditetapkan Pemprov Kaltim melalui Perda Nomor 1 tahun 2016. Judicial review diajukan karena dinilai cacat dalam proses.
Ia menilai luas lahan tanaman pangan yang ditetapkan sangat kecil dan kondisi itu tidak sesuai dengan keinginan mewujudkan swasembada pangan.
Di sis lain, perlindungan kawasan karst yang ditetapkan 307.337 hektare juga sangat sedikit, yakni hanya 8,43 persen dari luasan karst Kaltim yang berfungsi sebagai kawasan lindung dari total 3.642.860 hektare kawasan karst berdasarkan data Pusat pengendalian Pembangunan Ekoregional Kalimantan (P3EK).
Darma juga mengatakan, data sebelumnya juga parah karena untuk tambang berupa PKP2B seluas 977.000 hektare, IUP perkebunan sawit 2,5 juta hektare, IUPHHK-HA seluas 3,8 juta hektare, IUP tambang batu bara 4,2 juta hektare, IUPHHK-HT 1,5 juta hektare, IUP batu gamping 70.000 hektare.
"Jadi jika digabungkan, maka total luas izin untuk berbagai usaha itu mencapai 13,047 juta hektare. Kondisi ini tentu saja tidak masuk akal sehingga sering terjadi tumpang tindih lahan dan kerap konflik dengan masyarakat karena total luas daratan Kaltim hanya 12,67 juta hektare," katanya.
Ia melanjutkan Provinsi Kaltim menjadi kawasan pengerukan batu bara dengan jumlah izin usaha total 1.159 IUP, belum termasuk jumlah izin perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan industri migas sehingga ruang kelola rakyat sangat minim.
"Lalu bagaimana komitmen perubahan iklim di COP Maroko yang katanya ingin menurunkan emisi karbon 26 dan 40 persen, jika Perda RTRW Kaltim 2016-2036 memberikan ruang untuk energi fosil dan ekstraktivisme," ujarnya dengan nada tanya.
Melihat kondisi tersebut, lanjutnya, maka perlu upaya dari masyarakat untuk bersama memperjuangkan ruang hidup rakyat, sehingga judicial review yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk RTRW Kaltim yang berkeadilan ini dinilai tepat. (*)