Samarinda (ANTARA Kaltim) - Provinsi Kalimantan Timur bersama para mitra kerja dipercaya Pemerintah Indonesia untuk mewakili Konferensi Perubahan Iklim Persekutuan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) Konferensi Pihak (COP) ke-22 yang akan digelar di Bab Ighi, Marrakech, Maroko.
"Konferensi Perubahan Iklim yang dipercayakan kepada Maroko sebagai tuan rumah ini akan digelar selama 11 hari pada 7-18 November 2016," ujar Program Manager The Nature Conservancy (TNC) Niel Makinuddin di Samarinda, Rabu.
Menurutnya Provinsi Kaltim mendapat kesempatan tiga sesi untuk berbicara di Paviliun Indonesia dalam UNFCCC di Maroko mendatang.
Dalam sesi pertama, pembicara dipercayakan kepada Franley Oley, selaku Kepala Kampung Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau. Kepala kampung ini akan berbicara mengenai pengelolaan alam yang ramah lingkungan berbasis komunitas, karena di Merabu berhasil memadukan peternakan, pertanian, dan kehutanan.
Pada sesi kedua, pembicara dipercayakan kepada Muharam, selaku Bupati Berau, yang akan berbicara mengenai kebijakan yang ramah iklim, seedangkan sesi ketiga adalah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak yang akan mengemukakan kesepakatan Pembangunan Hijau (Kaltim Green).
Menurut Niel, dalam forum UNFCCC di Maroko tersebut dapat menjadi momentum bagi Kaltim, terutama Indonesia untuk lebih dikenal di dunia internasional agar bisa mendapatkan kerja sama dan berbagai bantuan dalam usaha mengurangi kerusakan lingkungan.
"Adanya wakil Kepala Kampung Merabu berbicara di tingkat internasional, maka Kaltim akan dikenal. Selama ini, hasil kerja sama yang sudah ada kami buktikan di Berau. Ketika pemerintah daerah berupaya sungguh-sungguh mengurangi kerusakan lingkungan, telah mendapat bantuan dari Pemerintah Amerika," ucap Niel.
Menurutnya, Pemerintah Amerika sudah menggelontorkan bantuan sebesar 19 Dolar Amerika kepada Pemkab Berau sampai pada tahun 2019. Bantuan tersebut merupakan hutang Indonesia ke Amerika yang tidak perlu dibayar, tetapi dialihkan untuk konservasi alam.
Di Kaltim, lanjutnya, TNC juga turut mendukung komitmen pemerintah dalam mengembangkan inisiatif kesepakatan pembangunan hijau atau green growth compact (GGC).
"Salah satu contoh GGC yang berjalan bisa dilihat pada koalisi perlindungan orang utan lahan dalam bentang Wehea-Kelay. Koalisi ini terdiri dari unsur perusahaan, masyarakat, pemerintah dan LSM," ujar Niel menjelaskan.
Mereka mengelola kawasan ekosistem esensial koridor orang utan seluas 308.000 hektare. Ini merupakan inisiatif pertama dalam skala bentang alam cukup besar di Indonesia yang mengutamakan kekuatan kolaborasi lintas sektoral dalam menjaga stabilitas keutuhan habitat orang utan. (*)