Sepekan menjelang Idul Fitri 1436 Hijriyah, Prapti, 50 tahun, mulai
berbenah dan mengemasi busana dan bekal untuk persiapan pulang kampung
di Desa Sambirejo, Gunungkidul, Jawa Tengah.
Wanita yang ditinggalkan suaminya yang tutup usia 15 tahun silam
itu dalam tiga bulan terakhir mencari sesuap nasi dengan menjadi perawat
orang tua jompo di sebuah keluarga di Jatimekar, Bekasi, Jawa Barat.
Pekerjaan Prapti boleh dibilang ringan-ringan berat atau
gampang-gampang ribet. Dia merawat seorang nenek berusia 90 tahun yang
tak sanggup berjalan normal. Untuk buang air ke kamar mandi, nenek itu
harus dipapah.
Jika urusan memandikan nenek itu selesai, Prapti tinggal
menyuapinya dan sang nenek akan tidur pulas sampai siang hari. Di saat
nenek tidur, Prapti yang sebelumnya berjualan nasi pecel di Pasar
Ciputat, Banten, itu bisa bersantai.
Sebulan Prapti digaji Rp2.300.000. Uang itu utuh di akhir bulan
sebab Prapti tak mengeluarkan kebutuhan makan minum sehari-hari. Prapti
ikut makan bersama keluarga majikannya.
Dengan membawa Rp 6,9 juta itu, Prapti hendak merayakan Lebaran
bersama keluarga di Gunungkidul. Di sanalah Prapti berencana menciptakan
dunia bahagia di hari-hari sekitar Lebaran 2015. Prapti minta izin
pulang kampung selama dua pekan pada majikannya.
Sang majikan, tentu keberatan kalau Prapti harus mudik. Mengurus
orang tua yang sudah jompo memang menyulitkan, maka majikan itu pun
menawarkan insentif menarik pada Prapti, yakni akan memberikan bayaran
ekstra, yakni uang tambahan di luar tunjangan hari raya senilai Rp2 juta
jika Prapti bersedia tak mudik Lebaran.
Namun, Prapti yang hanya berpendidikan sekolah dasar itu, dengan
senyum mengatakan minta maaf karena tak bisa menerima tawaran itu.
Prapti mengatakan tekad dan kesempatannya untuk mudik tak bisa ditukar
dengan uang.
Prapti yang sudah memiliki tujuh cucu dari ketiga anaknya itu
menceritakan pada majikannya bahwa sejak bekerja di luar kampung
halamannya, tak sekalipun melewatkan Lebaran di luar kota kelahirannya.
Prapti tahu, uang yang dikumpulkan selama ini, yang senilai Rp6,9
juta itu akan habis selama berada di desa berkumpul dengan anak-menantu
dan cucunya. Ketiga anak kandung Prapti adalah laki-laki yang bekerja
sebagai kuli bangunan, sopir dan penjaga toko. Mereka bukannya memberi
uang Lebaran pada sang ibu tapi malah masih mengharap uluran uang buat
anak-anak mereka.
Prapti adalah potret keluarga yang pasrah menerima nasibnya, dengan
tetap bekerja di usia yang mestinya tinggal menikmati hari-hari
senjanya bersama cucu.
Prapti bercerita bahwa sebelum menjadi perawat orang tua jompo, dia
berjualan nasi pecel dengan membawa keranjang yang digendong, berjalan
kaki sekitar satu kilometer menuju pasar dari rumah petak yang
dikontraknya.
Saat Prapti berjualan nasi pecel, penghasilannya tak menentu.
Sebagian keuntungannya habis untuk membayar sewa kontrakan yang senilai
Rp600.000 per bulan dan biaya hidup sehari-hari.
Dia mengatakan, ketiga putranya yang masing-masing sudah
berkeluarga kadang mengabarinya untuk minta uang ketika istri mereka
melahirkan.
Jadi sampai sekarang Prapti masih menopang kebutuhan anak-anaknya
yang sudah berkeluarga dan tinggal di kota lain secara terpencar.
Lebaran adalah saat berkumpul. Prapti selalu menyambut Lebaran
dengan suka cita. Makanya tawaran bonus ekstra dari majikannya untuk
mencegahnya mudik tak bisa membatalkan niatnya untuk pulang ke kampung
halaman.
Setahun bekerja dengan rutinitas yang jauh dari anak cucu membuat
Prapti selalu menyambut Lebaran dengan gairah yang menggebu-gebu.
Di kardus bekas tempat pengemas air mineral, Prapti telah menata
sejumlah mainan dan baju buat cucu-cucunya. Semua itu dibelinya dari
uang tunjangan hari raya yang diberikan oleh majikannya.
Memberi adalah membahagiakan diri, kata Prapti dalam bahasa krama
tinggi Jawa. Boleh jadi kalimat itu mengingatkan orang pada wejangan
para motivator moralis yang ada di mana-mana. Jelas Prapti
mengucapkannya bukan karena pernah membaca karya atau mendengar para
motivator.
Jika Prapti mengucapkan kalimat berlian itu, sesungguhnya itu
muncul dari pengalaman otentik yang dia rasakan selama ini. Dan
tampaknya kebahagiaan yang dirasakan Prapti makin bermakna karena Prapti
tergolong pemberi yang memberi dalam keterbatasannya.
Prapti adalah sosok inti yang melanggengkan tradisi mudik yang di
dalamnya terkandung pernyataan diri untuk bersama-sama merayakan
kegembiraan dengan keluarga besar di kampung halaman.
Kehidupan kota besar yang melelahkan, dan memerlukan energi
kesabaran sepanjang setahun perlu dipertahankan dengan meyediakan waktu
barang sepekan dua pekan di saat sebelum dan setelah Lebaran, untuk
jeda, intermezo, meluapkan kebersamaan bersama keluarga.
Harga kebersamaan itu terlalu murah untuk ditukar dengan selembar
uang nominal dengan total Rp2 juta. Dan Prapti memilih kegembiraan
bersama, bukan uang, yang sesungguhnya sangat bernilai dan cukup besar
di mata Prapti.
Hidup buat Prapti akhirnya adalah sebuah syukur karena masih diberi
kemampuan bergembira di hari suci. Semangkuk opor kebahagiaan di hari
Lebaran siap dinikmati oleh Prapti dan keluarga besarnya di Gunungkidul,
yang dicintainya hingga ajal menjamah. (*)
Esensi Mudik di Pikiran Prapti
Jumat, 10 Juli 2015 0:52 WIB