Beberapa orang tampak sibuk menggali-gali tanah berbatu-batu, membuat lubang dengan linggis dan cangkul di bawah sebuah pohon hingga kedalaman hampir dua meter.
Tidak jauh dari lokasi tersebut dua orang juga sedang melakukan hal yang sama. Mereka sedang mencari bongkahan batu yang saat ini sedang naik daun, "Red Borneo".
Hasan, pemuda yang sedang menggali itu memperkirakan bahwa red borneo bisa jadi ditemukan di lokasi tersebut, lokasi yang sudah masuk wilayah Desa Kiram, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, kawasan penghasil Red Borneo.
"Dulu kan sebelum tambang yang di sana itu mau dibuka, mereka ke sini dulu," ucapnya, beralasan.
Padahal, lokasi bekas pertambangan mangan yang telah ditinggalkan sejak beberapa tahun lalu itu masih sekitar dua kilometer lagi jauhnya dari lokasinya menggali.
Motor-motor dari lokasi bekas tambang mangan memang tampak sesekali melintas dengan membawa kardus atau karung di jok belakang yang dipastikan berisi beberapa kilogram bongkahan batu sisa pertambangan.
Menurut Ijum, warga Desa Kiram yang juga penggali batu merah Kalimantan, batu tersebut kini makin susah dicari, penyebabnya semakin banyak orang dari desa lain yang datang ke Desa Kiram untuk berburu Red Borneo.
"Bulan-bulan lalu malahan bisa lebih dari 200-an orang sehari yang datang ke bekas 'stockpile'. Mereka cari batu yang merah karena semakin merah seperti daging semakin mahal, bongkahan yang beratnya 1 kg bisa dijual sampai Rp1 juta," ungkapnya.
Saat itu, kata Ijum, warga bisa dapat bongkahan batu borneo merah kehitaman hingga seratusan kg setiap hari, tapi sekarang seminggu dia hanya bisa mendapat sekitar 2 kg.
Ia mengatakan, beberapa tahun lalu PT IMUT, perusahaan pemegang kuasa pertambangan menambang wilayah tersebut untuk mendapatkan bijih mangan, namun akhirnya ditinggalkan karena hasilnya kurang memuaskan.
"Mereka hanya ambil batu yang hitam, batu yang merah dibuang dan diuruk lagi. Nah, sisa yang warnanya merah itu lalu jadi buruan masyarakat sejak 2013. Sudah diangkut semua ke atas," ujarnya.
Kini, lanjut dia, di lubang bekas "stockpile" tinggal batuan yang berwarna hitam saja yang banyak, yang jika dijual murah seperti halnya "Green Borneo", hanya dihargai Rp10 ribu per kg.
Ia mengatakan selain di Kecamatan Karang Intan, di Kecamatan Cempaka ada juga bekas "stockpile" tambang mangan yang mengandung bongkahan batu borneo, tapi selain batuan borneonya juga lebih banyak berwarna hitam, lokasi tersebut dijaga aparat.
Namun diakuinya, telah banyak warga Desa Kiram yang dapat berkah, yang sebelumnya miskin kemudian bisa membeli motor dan barang lainnya berkat Red Borneo.
Ia mencontohkan Kodir, tetangganya yang sempat membawa pulang bongkahan batu Borneo berwarna merah daging seberat 12 kg dan terjual dengan harga Rp150 juta, sehingga membuatnya mampu merenovasi gubuknya menjadi rumah.
Harga naik
Sementara itu, pedagang kerajinan batu akik di Pasar Cahaya Bumi Selamat, Martapura Udin Borneo mengatakan Red Borneo mulai bernilai jual tinggi sejak lima bulan lalu, ketika menang kontes di Singapura.
"Di pasaran harganya langsung naik dari yang sebelumnya Rp30 ribu jadi Rp100 ribu per biji batu cincin yang warnanya agak merah. Kalau merahnya penuh tanpa noda hitam, itu yang bagus dan mahal, bisa ratusan ribu per biji. Bahkan yang besar untuk kalung bisa jutaan per biji," papar Udin.
Red Borneo makin mahal, menurut dia, karena semakin langka, dan stok yang sebelumnya berlimpah di bekas galian tambang mangan di Desa Kiram kini sudah mulai habis diambili masyarakat, selain itu juga disebabkan adanya konflik di masyarakat terkait batu tersebut.
"Sekarang tempatnya dijaga Brimob, katanya izin perusahaannya baru selesai Oktober tahun ini, jadi diambil alih lagi, padahal sudah lama mereka tak di situ. Masyarakat tak bisa cari lagi, mereka terpaksa gali tempat lain," imbuhnya.
Udin yang mengaku telah mempopulerkan Red Borneo mengatakan dirinya biasa membeli bongkahan batu berwarna merah muda itu langsung ke desa Kiram, atau warga Kiram sendiri yang datang ke tokonya menjual batu tersebut.
"Saya bisa memperkirakan bongkahan mana yang kalau dipecah persentase isinya banyak merahnya dan mana yang banyakan hitamnya," tukasnya.
Udin mengaku mendapat berkah cukup banyak dari jualan batu Red Borneo dengan omzet puluhan juta rupiah per hari.
Mineral Rhodonit
Batu Red Borneo, menurut Pakar Geologi Dr Ildrem Syafri, merupakan jenis mineral Rhodonit yang kadangkala ada di dalam endapan manganis di formasi batuan yang mengandung besi (Fe) dan kaya akan mangan (Mn), sehingga wajar ditemukan di bekas tambang mangan.
Di Indonesia mangan ditambang di beberapa tempat seperti di Kepulauan Riau hingga Nusa Tenggara, termasuk di Kalsel, untuk kebutuhan industri seperti baterai, keramik, porselen dan gelas, sedangkan pada industri baja mangan digunakan untuk meningkatkan kekerasan.
Beberapa jenis bijih besi yang mengandung mineral mangan antara lain Pirolusit (MnO2), Manganit (Mn2O3.H2O), Psilomelane (MnO.MnO2.2H2O), Hausmanit (Mn3O4), Rhodokrosit (MnCO3) dan Rhodonit (MnSiO3).
Rhodonit yang murni (MnSiO3), lanjut dosen Fakultas Geologi Universitas Padjadjaran itu, terkadang hadir juga dengan campuran besi atau magnesium sehingga rumus kimiawinya menjadi (Mn,Fe,Mg)SiO3, terkadang juga mengandung Kalsium (Ca) dan bisa juga Seng (Zn).
Soal mengapa batuan yang ditemukan di Desa Kiram tersebut berwarna merah, hal itu menurut dia, bisa karena adanya unsur Krom (Cr), namun kecenderungan warna coklat disebabkan adanya oksidasi permukaan.
Sementara itu warna hitam disebabkan oleh unsur mangan (Mn) dan besi (Fe), sedangkan warna hijau bisa disebabkan oleh warna Nikel (Ni), Tembaga (Cu), atau Vanadium (V).
Namun warna mineral sangat sensitif, karena bukan saja disebabkan oleh komposisi unsur kimia, tetapi juga susunan atom, sistem kristal dan panjang gelombang mineral yang berpengaruh pada serapan cahaya, urainya.
"Jadi adanya unsur yang sama juga bisa memberikan tampilan warna yang berbeda bila sistem kristal dari mineral tersebut berbeda," tuturnya, menjelaskan.
Sementara itu, ahli bebatuan lainnya Sujatmiko mengatakan dengan naik daunnya batu akik, banyak rakyat kecil di pelosok yang terangkat perekonomiannya.
"Saat ini rakyat kecil sedang berpesta, jangan ganggu mereka dengan peraturan, seperti pajak, tuduhan perusakan lingkungan atau aturan pertambangan. Mumpung batu akik sedang 'booming', mereka bisa mencari tambahan penghasilan," katanya. (*)