Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak di Rumah Sakit Umum Pusat dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Nastiti Kaswandani menyebut tingkat keparahan mycroplasma pneumonia tidak separah SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
"Dibandingkan dengan COVID-19, influenza, atau penyebab pneumonia lain seperti pneumokokus yang kemarin vaksinnya baru kita adopsi di program nasional, itu keparahan miycroplasma pneumonia jauh lebih rendah," katanya dalam konferensi pers virtual terkait miycroplasma pneumonia diikuti dalam jaringan (daring) di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan mycoplasma pneumonia bukan suatu bakteri yang baru di dunia, berbeda dengan COVID-19 yang memang sejak 2019 dikenal sebagai virus baru.
Nasiti mengatakan mycoplasma pneumonia sudah lama disebutkan dalam berbagai literasi tentang pneumonia sebagai bakteri penyebab pneumonia pada anak.
Sebelum pandemi pun, kata dia, muncul penelitian di China yang menyebutkan proporsi mycroplasma pneumonia paling tinggi terjadi pada anak prasekolah dan usia anak sekolah sebesar 30 persen, sedangkan pada bayi mencapai lima persen.
Baca juga: Kemenkes imbau masyarakat kembali gunakan masker karena kasus pneumonia
Ia mengatakan gejala yang ditimbulkan hampir mirip dengan gejala Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA), diawali demam kemudian batuk.
"Batuk ini mengganggu, bisa sampai dua sampai tiga pekan menetapnya, cukup lama," kata Nastiti.
Gejala lainnya yang juga mengiringi pasien mycroplasma pneumonia, lanjutnya, adalah nyeri tenggorok. Pada anak dewasa, terkadang nyeri dada hingga lemas.
Nastiti mengatakan tingkat mortalitas atau risiko kematian dari penyakit itu relatif rendah, hanya 0,5 sampai 2 persen.
"Itu pun hanya terjadi pada mereka dengan komorbiditas," katanya.
Baca juga: WHO: Varian baru COVID-19 tidak berarti dampak semakin parah
Nastiti mengimbau masyarakat untuk tidak perlu khawatir berlebihan terhadap mycroplasma pneumonia yang kini terdeteksi di Jakarta mencapai enam kasus per November 2023.
Alasannya, kata dia, gejala ringan yang umum terjadi pada pasien mycroplasma pneumonia dapat sembuh dengan sendirinya.
"Makanya kalau pada literatur di luar negeri mereka sebut nama lainnya walking pneumonia, karena ini anaknya masih bisa jalan-jalan, beraktivitas biasa, tidak seperti gambaran pneumonia tipikal yang anaknya harus diinfus pakai oksigen, dirawat inap di rumah sakit," katanya.
Nastiti menambahkan istilah walking pneumonia menunjukkan pasien dalam kondisi klinis pasien cukup baik, sehingga masih bisa beraktivitas.
"Sehingga sebagian besar kasusnya bisa dirawat jalan dan pemberian obat secara minum dan anaknya bisa sembuh sendiri," ujar Nastiti.
Baca juga: Sub-varian Pirola merebak di dunia, Kemenkes belum wajibkan bermasker