Siang itu jalan menuju kebun sayur milik Bejo masih becek akibat hujan semalam, tapi belasan warga, pendamping desa, dan perwakilan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, tetap semangat menuju kebun ini.
Tujuan utama mereka bukan untuk melihat kebun, tapi ingin melihat secara langsung deretan keramba ikan nila di embung yang ada di ceruk kebun sayur, Minggu lalu.
"Pak Bejo, kita bikin pondok kecil dekat kolam ikan ini, biar kita aman kalau hujan atau ketika cuaca terik," kata Brigpol Ahmad Fathoni, seorang Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) di Desa Sukomulyo.
Sukomulyo merupakan salah satu desa di Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU, kawasan yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Sementara Bejo adalah Ketua RT 12, Desa Sukomulyo. Bejo dan Thoni (panggilan akrab Ahmad Fathoni), awalnya kerap berbincang mengenai berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk mempertahankan keamanan dan ketertiban desa.
Sampai kemudian tercetus keinginan untuk menggerakkan warga memanfaatkan potensi ekonomi lokal, antara lain embung yang bisa digunakan untuk kolam ikan, lahan kosong untuk ditanami palawija, hingga pekarangan untuk hidroponik.
Obrolan mereka salah satunya terfokus pada pemanfaatan embung dengan luas sekitar setengah hektare yang ada di RT 12, desa setempat, karena embung itu selama ini tidak dimanfaatkan, padahal berpotensi untuk perikanan keramba.
Embung sekitar 0,5 hektare ini berada di cekungan lahan milik Bejo yang bagian daratnya sudah ditanami berbagai jenis sayuran (kebun sayur). Bejo merelakan lahan ini untuk tempat membudidayakan ikan bagi kelompok perikanan di lingkungan RT setempat.
Embung ini juga menjadi tempat praktik budidaya ikan keramba yang diajarkan oleh Thoni. Keterampilan Thoni dalam membudidayakan ikan dipelajari secara otodidak, terkadang belajar mandiri melalui internet.
Kemampuan inilah yang kemudian ditularkan kepada warga, karena ia memiliki keinginan untuk maju bersama warga, sehingga sejumlah keterampilan yang ia miliki pun diharapkan bisa diaplikasikan warga setempat untuk mendongkrak ekonomi lokal.
Untuk keramba ikan kelompok perikanan di lahan yang dipinjami oleh Bejo, masing-masing keramba diisi bibit nila 1.000 ekor dengan estimasi risiko kematian sebanyak 10 persen atau terdapat 100 ikan yang mati.
Berdasarkan pengalamannya, satu keramba dengan isi sekitar 900 ekor ikan yang bertahan hidup tersebut, dalam waktu empat bulan bisa dipanen dengan bobot sekitar 2 kwintal. Sementara harga jual rata-rata Rp25 ribu per kg.
Ini berarti dalam satu keramba dapat menghasilkan harga jual sebesar Rp5 juta. Jika di kolam tersebut ada 6 keramba, maka total memperoleh harga jual Rp30 juta. Tentu saja hasil ini belum menjadi keuntungan bersih karena harus dikurangi modal dan operasional.
Keterampilan Thoni bukan hanya beternak ikan, tapi juga membuat pupuk organik dan berkebun sayur dengan cara hidroponik, bahkan ia telah memiliki green house hidroponik di depan dan belakang rumahnya.
Kemudian keterampilan hidroponik ini pun telah ia tularkan kepada warga setempat, termasuk kepada pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Karya Mandiri Desa Sukomulyo.
Kesulitan melayani pasar
Thoni mengaku hasil panen sayur seperti sawi dan seledri dari hidroponik miliknya masih sering kesulitan melayani permintaan pasar dari Balikpapan, kota yang bertetangga dengan Kabupaten PPU.
Untuk itu, ia menggandeng warga setempat untuk sama-sama menekuni hidroponik dengan aneka jenis sayur, terutama sayur yang diminati warga sehingga selain pendapatan masyarakat bertambah juga permintaan pasar dari Balikpapan bisa terlayani.
Beberapa hari lalu Thoni sudah menjadi pemateri dalam pelatihan hidroponik di desa setempat. Pesertanya adalah kaum wanita yang tergabung dalam Dasa Wisma, pengurus BUMDes Karya Mandiri, dan warga yang ingin bertani sistem hidroponik.
BUMDes setempat dilibatkan dalam pelatihan, karena ke depan semua hasil panen sistem hidroponik di Sukomulyo akan dikelola BUMDes dalam pemasarannya, dengan maksud menyatukan petani agar harga tidak dipermainkan tengkulak jika sudah banyak produk hidroponik.
Dalam mendorong warga bertani cara hidroponik, Thoni menganjurkan tidak harus mengeluarkan modal banyak, tapi semampunya dan tidak harus menggunakan pipa paralon, karena banyak barang bekas yang bisa dimanfaatkan untuk membuat hidroponik.
Ia juga bercerita bahwa dulunya hanya menggunakan pipa seadanya saat memulai membuat hidroponik, namun kini justru memiliki tiga lokasi di sekitar rumah, yakni di halaman depan, samping kiri rumah, dan yang paling luas di halaman belakang rumah.
Ia mulai menekuni hidroponik sejak Agustus 2019. Waktu itu investasinya masih kecil, namun secara perlahan dilakukan penambahan hingga memiliki green house ukuran sedang di halaman depan rumah.
"Setiap dapat keuntungan, terus saya tambah sehingga ada pula hidroponik di samping rumah. Kemudian di halaman belakang rumah paling luas, ada 8.000 lubang tanam dengan 2.500 pipa. Semuanya saya tanam sayur mayur," ucapnya menceritakan perjalanan hidroponik miliknya.
Menurutnya, harga sayur organik dari hidroponik miliknya rata-rata dijual Rp35 ribu per kg untuk sawi yang dibeli oleh tengkulak dari Balikpapan, sedangkan sawi yang dijual di pasar terdekat atau Pasar Sepaku, dibandrol Rp10 ribu per pack.
"Menanam sayur pola hidroponik gampang kok. Kita jadi bisa mengerjakan hal lain karena nutrisi dan pengairannya sudah diatur. Selain itu, keuntungan yang saya rasakan juga besar, yakni saya bisa untung 200 persen setelah dipotong biaya operasional," ucap Thoni.
Langkah Thoni sebagai penggerak desa ini dipicu atas dua hal, pertama karena banyaknya potensi yang belum tergarap, kedua adalah untuk menyambut pindahnya IKN ke Sepaku yang dipastikan juga berdampingan pada meningkatnya kebutuhan pangan.