Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Agung diminta untuk meneliti kembali terdakwa-terdakwa kasus korupsi yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
"MA masih sering mengabulkan PK para koruptor yang kerap menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Ini pekerjaan rumah ketua kamar pidana saat ini yaitu Hakim Agung Suhadi yang menjadi 'person in charge' (PIC) sidang-sidang pidana tingkat kasasi atau PK," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana di Jakarta, Minggu.
ICW mencatat 6 narapidana yang mendapat pengurangan hukuman dari Peninjauan Kembali (PK) dari MA.
Keenam orang tersebut adalah:
1. Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) Irman Gusman yang tadinya divonis 4,5 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara dalam putusan PK
2. Pengusaha Choel Mallarangeng yang ikut merugikan negara Rp464,391 miliar dengan putusan 3 tahun 6 bulan sedangkan di PK diputuskan Choel dihukum 3 tahun penjara
3. Mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo yang awalnya dinyatakan terbukti menerima suap Rp2,6 miliar dan divonis 7 tahun penjara namun pada putusan PK Suroso mendapat keringanan penghapusan uang pengganti meski vonis pidana tetap 7 tahun penjara.
4. Mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Tarmizi yang divonis 4 tahun penjara karena terbukti bersama-sama menerima suap Rp425 juta dipotong hukumannya menjadi 3 tahun penjara berdasarkan vonis PK.
5. Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar terbukti menerima suap Rp144 juta juga mendapat pengurangan masa hukuman dari 8 tahun penjara menjadi 7 tahun penjara
6. Mantan anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi yang terbukti menerima suap Rp2 miliar mendapat pemotongan hukuman dari 10 tahun penjara menjadi 7 tahun penjara.
"Ini catatan hitam kepemimpinan Hatta Ali yang di akhir kepemimpinanya tidak memberikan 'legacy' yang baik malah memberikan korting hukuman melalui PK, dan saat ini masih banyak terpidana yang mencoba peruntungan melalui PK," ungkap Kurnia.
Kurnia meminta agar MA MA selektif dalam menilai kelayakan bukti sebelum menjatuhkan putusan akhir karena syarat pengajuan harus ada novum atau bukti baru.
"Namun ada 1 putusan menyatakan pertimbangan PK adalah karena terpidana sudah membayar uang pengganti, jadi hukuman dikurangi ini logika keliru," tambah Kurnia.
Kurnia juga berharap keterlibatan masyarakat dalam memantau putusan-putusan hakim di persidangan dapat diakomodir dengan baik.
"MA harus memperbaiki sistem elektronik di berbagai persidangan agar masyarakat dapat melihat pengadilan dari Aceh sampai Papua apakah sudah baik mengifokan setiap putusan atau belum karena dari sisi kecepatan 'upload' putusan dan kualitas 'upload' itu sendiri kurang. MA ke depan bisa mengeluarkan SEMA bagi seluruh pengadilan mengenai batasan 'upload' vonis pengadilan berapa lama misalnya maksimal 7 hari agar masyarakat tidak curiga dan mengakomodasi partisipasi publik," jelas Kurnia.