Samarinda (Antaranews Kaltim) - Tak sedikit politikus yang mendeklarasikan niatnya berpolitik sebagai panggilan jiwa namun dalam perilakunya memperlihatkan bahwa berpolitik tak lebih sebagai pekerjaan mencari uang semata.
Apakah terjun berpolitik tak boleh untuk mencari nafkah hidup? Inilah pertanyaan elementer yang harus dijawab ketika seseorang memutuskan mengabdikan hidupnya terjun berpolitik. Tentu pertanyaan itu mendapat jawaban yang afirmatif atau bersifat menguatkan/mengesahkan.
Tak jauh berbeda dengan pekerjaan seorang penegak hukum, jurnalis atau profesi lain yang mengusung nilai-nilai keutamaan dalam hidup, berpolitik semestinya diiringi oleh niat ganda, yakni mencari nafkah sekaligus memperjuangkan nilai-nilai.
Mengabaikan unsur nilai-nilai, yang oleh banyak politikus disebut sebagai berjuang untuk bangsa, akan mencederai profesi berpolitik itu.
Ketika seorang politikus pindah dari satu partai politik ke partai politik lain dengan alasan bahwa dia sudah tak merasa cocok dengan haluan kebijakan parpol lama yang menyimpang dari haluan ideologis awal, sang politikus sedang memainkan kiprah politik yang paralel dengan panggilan jiwanya.
Namun, ketika perpindahan itu diakibatkan oleh munculnya tawaran menggiurkan berupa pemberian dana sekian miliar rupiah dari parpol baru, publik pantas mempertanyakan niat berpolitik sang politikus.
Pengamat politik Syamsuddin Haris dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa pindah politik karena kepentingan pribadi politikus berdampak buruk bagi demokrasi. Mestinya perpindahan itu diakibatkan oleh kepentingan rakyat, faktor etis dan ideologis.
Demokrasi yang diperjuangan dengan darah dan air mata lewat gerakan reformasi 20 tahun silam tentu tak akan merosot kualitasnya secara drastis hanya oleh fenomena segelintir politikus yang berpindah parpol karena menerima tawaran bantuan finansial.
Dampak itu boleh jadi berupa pukulan balik terhadap politikus bersangkutan dan parpol yang memberikan tawaran finansial tersebut. Memang ada simbiose mutulisme yang tak elok dalam perkara ini.
Yang lazim dalam demokrasi adalah seseorang berpolitik lewat kiprah pengorbanan pribadinya. Tak sedikit politikus muda yang melewati jalur normal ini. Para pejuang Reformasi 1998 dari kalangan aktivis menempuh cara-cara etis ini. Mereka beraksi mempertaruhkan nyawa saat melawan otoritarianisme Orde Baru. Ketika perjuangan itu berhasil, mereka melanjutkan dedikasi mereka dengan masuk ke partai politik.
Namun, fenomena mutakhir dalam perpolitikan di sini memperlihatkan anomali itu. Sebuah parpol yang dimiliki pemodal besar memikat para pesohor yang sudah menjadi wakil rakyat dari parpol tertentu untuk diajak pindah. Pembajakan itu konon diiringi dengan kucuran finansial yang menggiurkan. Pers menyetarakan fenomena itu dengan transfer pemain bola di klub-klub persepakbolaan profesional.
Kini publik telah mengetahui fenomena itu. Sang politikus yang diprediksi menerima dana transfer itu mengelak tuduhan, namun sang pengucur dana dari pihak parpol tak membantah dan memberi penjelasan eufemistik bahwa kucuran dana dimaksudkan untuk dana kampanye berupa pembelian kaus dan atribut parpol.
Bila fenomena ini tercium oleh publik yang tingkat kemelekan politiknya cukup tinggi, sangat mungkin bahwa sang politikus akan dihukum publik saat pencoblosan. Politikus yang demikian ini tak layak dipilih untuk menjadi wakil publik di parlemen.
Namun, ketika publik belum punya kesadaran tinggi untuk menghukum politikus yang tak amanah dalam kiprah politiknya, fenomena memprihatinkan itu bisa berlalu begitu saja. Apalagi bila politik uang dimainkan oleh sang politikus yang melanggar etika berpolitik itu.
Sisi negatif dari fenomena transfer politikus bernilai miliaran rupiah itu tentu kian menonjol ketika kekuatan sipil prodemokrasi belum mengakar dalam skala yang masif. Sebab, parpol dengan modal sangat besar, yang dimiliki oleh konglomerat, atau didanai oleh para penggarong uang rakyat di era otokratik di masa lalu dapat memainkan dana melimpahnya untuk membajak politikus selebritas yang elektabilitasnya tinggi semata-mata karena popularitasnya sebagai pesohor.
Tentu demokrasi yang memungkinkan transparansi politik akan segera mengoreksi fenomena berpolitik secara vulgar tersebut. Kalangan pegiat prodemokrasi akan menggaungkan terus-menerus tentang kebobrokan laku politik banal yang didasarkan oleh kepentingan pribadi sang politikus itu.
Yang justru perlu dilembagakan adalah lahirnya politikus yang berjuang untuk publik sekaligus berjasa membesarkan parpol yang dijadikan tempat berpolitik. Bukan sebaliknya, malah memperoleh bantuan dari parpol yang dimiliki konglomerat.
Poinnya adalah: dalam politik pun dikenal adagium bahwa tak ada makan siang yang gratis. Parpol yang dimiliki konglomerat tak cuma-cuma mengucurkan dana kepada politikus selebritas tanpa mendapat imbalan.
Skenario yang bisa difantasikan adalah sebagai berikut: ketika parpol bermodal besar itu dapat menarik banyak politikus selebritas masuk di gerbong parpolnya, dan dengan demikian jumlah kadernya yang masuk di parlemen semakin banyak, saat itulah parpol pembajak politikus selebritas itu memainkan target-target politiknya.
Dari aspek bisnis, kader-kader yang diberi kucuran dana transfer itu bisa diperintahkan untuk memengaruhi pembuatan aturan undang-undang yang berpihak terhadap bisnis sang konglomerat pemilik parpol.
Dari aspek politik, kader-kader bajakan itu bisa dipakai untuk memengaruhi lahirnya kebijakan-kebijakan politis yang tak berseberangan dengan kepentingan politik keluarga bekas otokrat di era Orde Baru, yang menjadi bagian dari pemodal parpol pembajak politikus mantan pesohor dunia hiburan itu.
Pada titik inilah demokrasi dibajak, dieksploitasi untuk kepentingan kelompok, bukan bagi kemaslahatan publik yang mengedepankan etika. (*)
Membajak demokrasi
Selasa, 24 Juli 2018 9:38 WIB