"Tidak
hanya di Indonesia, informasi hoax sering kena, ke pengguna, cocok,â€
kata Ismail melalui sambungan telepon di Jakarta, hari ini.
Sebagai
contoh, isu jutaan pekerja asal China di Indonesia, bila ditilik dari
kedekatan informasi dengan pembaca, memakai prinsip "what is for me" atau "apa untuk saya", dapat membuat orang merasa terancam dari segi lapangan pekerjaan.
Ketika
berembus kabar bohong mengenai vaksin, misalnya, umumnya akan membuat
perempuan yang memiliki anak terpengaruh karena faktor kedekatan
informasi itu.
Bila informasi yang terkandung
dalam hoax hanya menjangkau segelintir masyarakat atau kalangan
masyarakat tertentu, penyebaran relatif tidak masif karena tidak semua
orang memahaminya, misalnya hoax yang terkait dengan reklamasi.
Hoax dengan mudah masuk ke masyarakat ketika tingkat literasi mereka kurang, kata dia.
Menurut lulusan program doktoral sains informatika Universitas Groningen, Belanda ini, hal yang berbahaya adalah after hoax, apa yang terbentuk setelah hoax muncul.
Menurut lulusan program doktoral sains informatika Universitas Groningen, Belanda ini, hal yang berbahaya adalah after hoax, apa yang terbentuk setelah hoax muncul.
Setelah
hoax tersebar, muncul informasi tambahan baik berupa fakta, opini dan
klaim. Masyarakat akan kebingungan bila tidak ada informasi yang dapat
dipercaya, misalnya berupa data.
Ia
mencontohkan sebaran isu jutaan pekerja asal China pertengahan Desember
2016 lalu, berdasarkan pantauan di Twitter. Setelah isu mencuat,
informasi berupa fakta, opini dan kabar yang tidak akurat mengenai
jumlah pekerja asal China terus bermunculan.
Saat itu, belum ada penjelasan mengenai berapa tepatnya jumlah pekerja asal China yang ada di Indonesia.
Puncak
sebaran informasi terjadi pada 23 Desember ketika Presiden Joko Widodo
mencuit bahwa isu itu tidak benar karena pemerintah menargetkan 10 juta
wisatawan asing asal China.
Simpang-siur informasi ini, bila tidak segera dijelaskan, dapat menimbulkan distrust, ketidakpercayaan, pada lembaga tertentu.
"After hoax yang bahaya dan tidak ada informasi kredibel. Kontranarasi harus segera dibuat," kata dia.
Hoax sangat mungkin disebarkan secara sengaja oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dengan motif ekonomi.
Semakin
banyak orang yang mengakses informasi ini, semakin banyak pula klik
yang dihasilkan sehingga mendatangkan uang atau disebut dengan "clickbait'.
"Informasi hoax atau bukan, asal menghasilkan banyak klik," kata Ismail.
Adakalanya,
klarifikasi mengenai berita bohong belum menjangkau masyarakat. Selain
karena tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap lembaga
tertentu, menurut Ismail, kebiasaan penggunaan internet di kalangan
masyarakat Indonesia juga berperan.
Pengguna
internet di Indonesia, yang berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) mencapai 132 juta orang pada 2016,
umumnya menggunakan layanan prabayar yang dibatasi kuota.
Ketika
mendapat klarifikasi berupa tautan, misalnya, penerima belum tentu
membuka atau mengunduhnya karena khawatir akan menghabiskan kuota
internet mereka.
Oleh karena itu, untuk hoax
yang berkaitan dengan pemerintah, ia berpendapat pemerintah perlu
merangkul kelompok yang berseberangan ketika memberikan klarifikasi atas
suatu isu.
"Bila hanya memakai media arus
utama untuk meluruskan, informasi itu belum tentu sampai kepada kelompok
yang tidak memiliki kepercayaan terhadap pemerintah", tutup Fahmi. (*)