Tanjung selor (ANTARA Kaltim) - Ketua PWI Kalimantan Timur Endro S Effendi menyesalkan sikap panitia kampanye kandidat kepala daerah Kalimantan Utara pasangan Irianto Lambrie-Udin Hianggio (Irau) yang menghalangi pekerjaan insan pers.
"Harusnya tidak ada lagi sikap seperti itu karena pekerjaan wartawan dilindungi UU Pers. Kami sangat menyesalkan dan berharap agar itu jangan terulang lagi," katanya saat dihubungi via telepon, Minggu.
Kaltara masih dibawah naungan PWI Kaltim sebagai daerah pemekaran baru.
Sebelumnya, kampanye terbuka pasangan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Utara pasangan Lambrie-Udin Hianggio di Lapangan Agatis Tanjung Selor, Bulungan, dinodai oleh sikap panitia yang menghalangi-halangi pers saat melakukan tugasnya.
Seorang yang mengaku Ketua Panitia Zubair Aljufrie menahan seorang wartawan Lembaga Kantor Berita Antara saat akan mengambil foto pasangan kandidat itu saat keduanya duduk di panggung.
"Tolong tunjukkan kartu pers," katanya sambil membentak, namun setelah ditunjukkan kartu pers, dia meminta wartawan menunjukan kartu ID dari panitia.
Setelah dijelaskan bahwa media dilindungi UU Pers dalam mendapatkan data dan berita termasuk foto, yang bersangkutan dengan mengatakan bahwa panitia punya peraturan sendiri dan tetap menghalangi wartawan untuk bisa mengambil gambar.
Sikap tidak simpatik dan profesional itu sudah dua kali dilakukan. Pada dua pekan lalu, bahkan dia dengan kasarnya menahan tangan wartawan yang akan mengambil gambar pasangan Irau saat acara kampanye terbuka dan gerak jalan santai di Tarakan.
Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Kaltim Charles Siahaan sangat menyesalkan sikap panitia tidak profesional itu.
"Kalau saya bilang, orang tersebut tidak layak jadi panitia. Padahal, logikanya pers justru membantu bagi para kandidat yang sedang kampanye," katanya.
Ia mengutip UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebenarnya telah menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi warga negara dan wujud kedaulatan rakyat.
"Undang-Undang ini juga dengan tegas menolak sejumlah ancaman eksternal terhadap kebebasan pers, khususnya: (1) Penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2)," ujar dia.
Selajutnya, kata dia, tidak boleh tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan hak pers untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 ayat 3).
"Kepada siapa saja yang melakukan ancaman terhadap pers, menurut Pasal 18 ayat (1) dapat diancam hukuman paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta. Sementara itu, bagi perusahaan pers yang melanggar Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 13, menurut Pasal 18 ayat (2), diancam pidana denda paling banyak Rp 500 juta," kata Charles. (*)