Kawasan Jalan Pangeran Diponegoro, Kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tampak ramai dipadati ribuan warga pada Rabu (10/6).
Mereka berbaur dengan pejabat pemerintah dan kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Hari itu, Pemerintah Kabupaten dan Kesultanan Kutai Kartanegara menggelar acara "beseprah", yakni tradisi makan bersama masyarakat adat Kutai, sebagai rangkaian dari kegiatan Upacara Adat Erau 2015.
Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Putera Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura Aji Pangeran Prabu Anoem Surya Adiningrat, dan Forum Pimpinan Daerah bersila lesehan bersama ribuan warga menikmati makan bersama. Tidak ketinggalan utusan kesenian dari berbagai negara juga ikut berbaur.
Dalam bahasa Kutai, tradisi makan bersama ini dinamakan beseprah. Tradisi makan bersama ini sudah dilakukan sejak lama dalam sebuah keluarga atau bersama rakyat di Kampung Kutai.
Berbagai makanan atau kuliner khas Kutai disajikan pada tradisi beseprah ini, seperti gence ruan, nasi kuning, nasi kebuli, dan berbagai kudapan, antara lain serabai, putu labu, basong, bebongkok, tumpi, nasi pundut dan masih banyak kuliner lagi.
Makanan tersebut merupakan partisipasi dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemkab Kutai Kartanegara, perusahaan BUMN/BUMD dan swasta, perbankan, dan perorangan.
"Beseprah merupakan tradisi cara makan Kutai dengan menjunjung adab dan rasa kebersamaan," kata Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, sebelum membunyikan kentongan tanda dimulainya acara makan bersama.
Menurut Rita, sejak zaman dulu, Sultan Kutai dikenal sebagai pribadi yang merakyat, yang ditunjukkan dengan cara turun langsung melihat keadaan rakyatnya dan sering kali kegiatan "blusukan" sultan itu diakhiri dengan duduk makan bersama atau beseprah.
"Jadi, selain memelihara tradisi, juga untuk mempererat silaturahmi dan meleburkan strata dalam sebuah kebersamaan, karena kebersamaan merupakan kunci untuk mencapai masyarakat sejahtera dan berkeadilan," ujar kepala daerah perempuan satu-satunya di Provinsi Kaltim itu.
Beseprah adalah satu dari beberapa tradisi adat Kutai yang dilaksanakan pada agenda tahunan setiap bulan Juni itu. Tradisi lain yang juga digelar, antara lain upacara "beluluh", yakni ritual mengucapkan doa memohon kepada Yang Maha Kuasa guna membersihkan diri dari unsur-unsur jahat, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Upacara ritual beluluh dilaksanakan pada permulaan sebelum Erau dan dilakukan setiap sore hari selama Erau berlangsung pada 6-14 Juni.
Kemudian ritual "merangin" yang digelar tiga malam berturut-turut sebelum acara Erau dimulai, kecuali malam Jumat. Ritual ini bertujuan mengundang makhluk ghaib untuk ikut serta dalam kemeriahan Erau.
Selain itu, masih ada tradisi Kutai lainnya, seperti mendirikan ayu, bepelas, belimbur, mengulur naga, hingga merebahkan ayu.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara Sri Wahyuni mengemukakan kesakralan Upacara Adat Erau berlangsung selama tujuh hari di Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura atau Museum Mulawarman.
"Selama tujuh hari itu juga dilaksanakan aktivitas seni budaya di luar keraton, mulai dari lomba permainan dan olahraga tradisional, lomba seni tradisi daerah, kuliner, pameran kerajinan hingga kegiatan prolingkungan," katanya.
Upacara Adat Erau 2015 yang digelar bersama International Folk Art Festival (EIFAF) tahun ini dimeriahkan kehadiran delegasi kesenain dari 14 negara anggota "International Council of Organizations of Folklore Festivals and Folk Art" (CIOFF).
Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat, Afrika Selatan, Hongaria, Italia, Jerman, Korea Selatan, Polandia, Malaysia, Turki, Slovenia, Estonia, Mesir, Rusia, dan Latvia.
"Jumlah negara CIOFF yang ikut serta pada Erau tahun ini lebih banyak dibanding tahun 2014 yang hanya 11 delegasi kesenian," tambah Sri Wahyuni.
Majukan Pariwisata
Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak saat menghadiri pembukaan acara tersebut, Minggu (7/6), mengajak seluruh rakyat Benua Etam, khususnya Kutai Kartanegara, untuk menjadikan Upacara Adat Erau 2015 sebagai momentum kebangkitan dan kemajuan pariwisata serta kejayaan rakyat Kaltim.
Upacara Adat Erau adalah peristiwa sakral sekaligus momentum yang sangat berharga untuk menyukseskan tahun kunjungan wisata Kaltim 2015.
"Erau tahun ini diharapkan menjadi langkah maju dan kreatif bagi penyelenggara yang patut kita apresiasi. Mari kita jadikan Erau sebagai momentum untuk kebangkitan dan kemajuan pariwisata serta kesejahteraan rakyat Kutai Kartanegara dan Kaltim," katanya.
Perpaduan gelaran seni budaya antarbangsa yang tampil selama sepekan penuh diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat dunia terhadap kepariwisataan di Tanah Kutai.
Kabupaten Kutai Kartanegara adalah salah satu daerah tujuan wisata yang dikenal dengan berbagai peninggalan budaya dari Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Peninggalan warisan budaya dari kerajaan yang masih hidup dan terjaga sampai sekarang itu, agaknya memberi pesan dan kesan bagi generasi penerus bahwa di wilayah Kutai Kartanegara pernah ada kehidupan yang memiliki budaya tinggi.
Erau berasal dari bahasa lokal atau etnis Kutai dan biasa disebut juga "Eroh" memiliki arti ramai, hilir mudik, bergembira dan berpesta ria yang dilaksanakan secara adat oleh kesultanan atau kerabat kerajaan dan diikuti masyarakat umum.
Dalam setiap pelaksanaan Upacara Adat Erau akan mengambil salah satu dari tiga tema, masing-masing Erau Tepong Tawar, Erau Pelas Tahun dan Erau Beredar.
Mengutip laman wikipedia, Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara "tijak tanah" dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia lima tahun.
Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), juga digelar upacara Erau. Sejak itulah, Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara.
Dalam perkembangannya, selain sebagai upacara penobatan raja, upacara Erau juga untuk pemberian gelar dari raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap kerajaan.
Pelaksanaan upacara Erau dilakukan kerabat keraton/istana dengan mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat yang mengabdi kepada kerajaan.
Mereka datang dari seluruh pelosok wilayah kerajaan dengan membawa bekal bahan makanan, ternak, buah-buahan, dan juga para seniman.
Dalam upacara ini, sultan serta kerabat keraton lainnya memberikan jamuan makan kepada rakyat dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih atas pengabdian rakyatnya.
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara pada 1960, wilayahnya menjadi daerah otonomi bernama Kabupaten Kutai.
Kendati demikian, tradisi Erau tetap dipelihara dan dilestarikan sebagai pesta rakyat dan festival budaya yang menjadi agenda rutin pemerintah daerah.
Kepala Disparta Sri Wahyuni menambahkan Upacara Adat Erau tidak saja sebagai ungkapan rasa syukur, tetapi bertujuan melestarikan, mengembangkan dan mempromosikan keluhuran warisan budaya yang telah berlangsung turun-temurun.
Awalnya, kegiatan ini hanya bersifat lokal, tetapi sejak 2013 Pemkab Kutai Kartanegara dan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura memadukannya dengan International Folklore And Art Festival, sehingga menjadikan even pariwisata ini lebih dikenal masyarakat dunia.
"Melalui kegiatan ini, bukan saja kita melestarikan kesenian dan kebudayaan daerah sebagai warisan budaya leluhur, tetapi dengan menyandingkannya bersama Internasional Folk Art Festival, Kutai Kartanegara menjadi duta Tanah Air, mewakili bangsa Indonesia untuk mempromosikan pelestarian budaya secara internasional di kancah dunia," ujarnya. (*)
Erau Kutai, Tradisi Leluhur untuk Kancah Dunia
Jumat, 12 Juni 2015 1:43 WIB
Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara "tijak tanah"