Sebanyak 221 peserta (berdasarkan absen kehadiran) dari berbagai kalangan seperti mahasiswa dan akademisi dari berbagai fakultas di Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Kalimantan Timur, terlibat bedah buku berjudul "Inche Abdoel Moeis, Pejuang Nasionalis Tanpa Pamrih".
Bedah buku yang digelar Rabu (4/8), di lantai tiga, Ruang Theater, Gedung Prof Masjaya, Kompleks Unmul Samarinda ini, mengisahkan sejarah keterlibatan pemuda Kalimantan Timur (Kaltim) di bidang diplomasi yang turut berjuang menyatukan Kaltim menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia.
Buku ini ditulis oleh Ir. H. Izedrik Emir Moeis, MSc, mantan anggota DPR-RI, anak dari dari Inche Abdoel Moeis, tokoh dalam buku yang dibedah di hadapan ratusan mahasiswa tersebut.
"Jadi, pemuda Kaltim saat itu juga terlibat dalam pembentukan negara kita, salah satunya adalah terlibat dalam diplomasi. Jadi sekarang peran para pemuda Kaltim adalah bagaimana bisa berperan aktif mengambil peluang seiring adanya Ibu Kota Nusantara (IKN) yang hadir di tengah Kaltim," kata Emir.
Salah satu isi yang diulas dalam buku tersebut adalah Inche Abdul Moeis (1921-1975) atau sering disingkat I.A Moeis merupakan pejuang pergerakan kemerdekaan dari Samarinda, Kaltim.
Dia dikenal sebagai junior sekaligus kawan Bung Karno di Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Bung Karno pada 1927.
Dari segi usia, I.A Moeis memang layak disebut junior. Jarak usianya dengan Bung Karno terpaut cukup jauh, yaitu 20 tahun. Dari segi era perjuangan, keduanya juga berbeda. Bung Karno sudah malang-melintang terlebih dahulu sebelum ia lahir.
Meskipun beda generasi, keduanya akhirnya bertemu di lintasan perjuangan yang sama, yaitu perjuangan pascaproklamasi kemerdekaan 1945, dan akhirnya di PNI, partai yang didirikan Bung Karno itulah I.A Moeis tampil sebagai salah seorang pengurusnya.
Di sisi lain, I.A Moeis juga mewakili BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 1949, konferensi tiga pihak antara BFO, Belanda, dan Republik Indonesia. KMB inilah yang jadi dasar pengakuan kedaulatan Belanda kepada Indonesia.
Dia lalu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (Parlemen RIS) pada 1950 dan anggota Parlemen RI, mewakili Kalimantan Timur dari Fraksi PNI, dan memimpin Komisi Luar Negeri.
Setelah berhenti menjadi anggota Parlemen pada 1955, I.A. Moeis menjadi Kepala Daerah Tingkat I Definitif yang pertama untuk Provinsi Kalimantan Timur.
Ada hal ironis dan mungkin juga lucu, lintasan perjuangan antara Bung Karno dan I.A. Moeis ternyata juga menyangkut soal properti. Pada 1959 pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dan Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) meletus.
Saat itu, Amerika Serikat (AS) mendukung pemberontakan tersebut. Badan Rahasia AS/Central Intellegence Agency (CIA) mengirim Allen Pope, seorang pilot dengan menggunakan pesawat pembom B-26 yang secara sporadis menembaki wilayah Indonesia Timur dari udara.
Salah satu properti yang menjadi korban penembakan itu adalah kapal barang KM Naira milik I.A Moeis, yang ketika itu sudah tidak lagi menjabat Gubernur Kaltim dan menjadi pengusaha logistik yang mengangkut barang kebutuhan pokok dari dan ke luar Samarinda.
Sebanyak 12 lubang peluru menembus KM Naira. Sampai kapal nahas itu dipensiunkan karena sudah tidak laik jalan, ke-12 lubang tersebut tidak ditambal, sengaja dibiarkan berlubang sebagai bukti sekaligus catatan sejarah.
Pesawat Allen Pope berhasil ditembak jatuh di Pantai Tanjung Alang, tidak jauh dari Kota Ambon, Maluku. Pope kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Indonesia. Meski akhirnya Bung Karno mengampuni Pope hingga dia bisa pulang ke AS.
Namun, juga keliru bila menganggap I.A Moeis cuma berbisnis logistik di sektor pelayaran. Jauh setelah peristiwa penembakan kapal KΜ Naira oleh Allen Pope tersebut, kapal-kapal itu kembali terlibat dalam perjuangan.
Selama era konfrontasi dengan Malaysia (1963-1966) melalui semboyan Ganyang Malaysia yang dicetuskan Bung Karno, kapal-kapal milik I.A Moeis juga mengangkut logistik militer, bahkan membawa tentara hingga ke perbatasan Malaysia. Semua itu tanpa dipungut bayaran alias gratis.
"Saya pernah berkomentar ke ayah setelah tahu pengangkutan logistik militer dan tentara selama operasi Ganyang Malaysia tersebut ternyata tidak ada bayarannya alias gratis. Wah, kalau gratis terus bisa bangkrut kita, kata saya setengah bergurau". Seperti dalam buku tersebut.
"Namun, dengan tegas ayah saya menjawab tidak semua yang diangkut itu tidak dipungut bayaran. Kan tidak semua gratis. Ada barang (dari non-militer) yang kita angkut yang ditarik ongkos. Ini kan perjuangan. Sudah kau jangan banyak bicara, kata ayah saya waktu itu," ujar Emir Moeis.
"Begitulah ayah saya, sosok yang saya kenal sebagai seorang intelektual, berpendidikan tinggi, pengusaha, tapi pada saat bersamaan juga bisa sangat religius. Tidak semata berpikir untung rugi, tapi juga percaya pada tujuan yang lebih mulia.