Jakarta (ANTARA) - Mantan ratu tenis dunia Chris Evert sempat yakin Cori "Coco" Gauff adalah jenis petenis yang bisa menghentikan laju tak terkalahkan Iga Swiatek sehingga gagal menyamai 35 kemenangan berturut-turut yang dibuat Venus Williams 22 tahun silam.
Tapi yang terjadi di Lapangan Philippe-Chatrier di Roland Garrros, Paris, Sabtu malam itu, justru kebalikan dari apa yang diyakin Evert.
Swiatek sang gadis dari Polandia justru tampil sangat dominan dengan menguasai segala sudut lapangan, di depan net, sampai belakang garis lapangan di baseline.
Selama 68 menit, gadis penyuka musik heavy metal sampai rela menjejali kedua telinganya dengan headphone berisi hentakan musik dari lagu band-band yang tenar sebelum dia lahir seperti Led Zeppelin dan Guns N' Roses itu, dengan mudah menaklukkan lawannya.
Dia meluluhlantakkan si remaja Coco Gauff dengan hanya memberikan empat gim ketika menang 6-1, 6-3 guna menjadi juara tunggal putri French Open 2022. Dan ini Trofi Suzanne Lenglen keduanya setelah 2020.
Swiatek juga menjadi petenis putri kedua pada milenium ini setelah Venus Williams yang 35 kali menang berturut-turut sejak 16 Februari lalu.
Pam Shriver, mantan petenis seangkatan Chris Evert, tak kuasa menyampaikan pujian karena Swiatek telah mencapai tonggak yang dipancangkan Venus Williams yang sangat mungkin segera dia pecahkan setelah French Open ini.
"@iga_swiatek Level ini adalah yang terbesar sepanjang masa @Wta. #IGA35," cuit Shriver dalam akun Twitter-nya.
Komentator tenis NBC Maria Taylor berpandangan bahwa untuk menang berturut-turut selama itu, atlet harus kuat secara mental, tidak cuma siap fisik, selain harus berani tampil agresif. Swiatek melakukan semua yang disebut Taylor ini.
Swiatek yang baru pekan ini genap berusia 21 tahun kini sudah enam kali memenangkan gelar juara, termasuk empat turnamen level 1000. Dia baru dinobatkan sebagai petenis putri nomor 1 dunia awal April lalu setelah mengumpulkan poin hampir dua kali lipat dari petenis terdekat peringkatnya dari dia.
"Yang Anda lakukan dalam tur beberapa bulan terakhir ini sungguh hebat dan Anda sungguh pantas mendapatkannya," kata Gauff yang menangis saat presentasi trofi usai laga.
"Semoga kita berdua bisa sering saling berhadapan lagi dalam final dan saya bisa menang dari Anda suatu hari nanti."
Tatkala Swiatek tampil di Paris dua tahun silam, tak ada yang tahu siapa dia. Dia masuk arena dengan bekal peringkat 54 dunia, tapi dia membuat semua orang terperangah sampai akhirnya menjadi juara di Paris untuk pertama kalinya.
Kurang dari dua tahun kemudian, Swiatek meninggalkan arena Paris dengan status kekuatan dominan dalam tenis putri saat ini. Dia digadang-gadang bakal semakin besar dalam tahun-tahun kemudian.
Pada diri dia, dunia tenis putri telah menemukan lagi atlet seperti Serene Williams yang pada masa jayanya begitu dominan di setiap jenis lapangan. Iga Swiatek makin terlihat seperti Serena, menjajah arena demi arena tenis.
"Saat ini dia agak mencapai level lain dibandingkan kami semua," kata Jessica Pegula yang dibenamkan Swiatek dalam perempat final. "Ya, ini agak mengerikan."
Ngeri adalah rasa umum yang dialami lawan-lawan Swiatek akhir-akhir ini sampai Naomi Osaka si juara Grand Slam empat kali tak kuasa membayangkan harus langsung menghadapi Swiatek pada babak pertama turnamen di Paris itu.
"Syukurlah itu tak terjadi," kata Osaka yang malah disingkirkan oleh petenis Amerika Serikat Amanda Anisimova pada babak pertama.
Lebih bebas
Seperti Gauff dalam final malam tadi, Lesia Tsurenko yang mantan perempatfinalis US Open, juga terlihat kengerian walau sempat mengimbangi Swiatek pada awal set pertama. Tetapi itu cuma dua gim karena setelah itu dia tak berdaya untuk menyerah 2-6, 0-6 dalam waktu 54 menit.
Swiatek hanya sekali kehilangan set ketika menghadapi petenis China berusia 19 tahun, Qinwen Zheng, pada babak keempat. Dia juga hanya hanya kehilangan total delapan gim kala melawan Pegula dan Daria Kasatkina, masing-masing dalam perempatfinal dan semifinal. Kedua laga ini pun cuma diselesaikan kurang dari 90 menit.
"Saya kira atletismenya sangat di luar keumuman," kata Pegula. "Saya kira pertahanannya benar-benar amat sangat bagus, mirip Ashleigh Barty baik saat menyerang maupun bertahan, mereka bisa bermain sampai sudut, menggali poin, memainkan pertahanan yang bagus sekali dan kadang kala membuat tangan Anda terlepas dari raket. Dan tahun ini saya kira dia jauh lebih ofensif lagi."
Lawannya dalam final French Open 2022 itu, Coco Gauff, sungguh gugup. Dia kerap mati langkah, berulang kali membuat unforced error dan kesalahan ganda, selain tak cermat menempatkan bola, dan keteteran membaca ke mana Swiatek menempatkan bola.
Ketika Gauff memimpin 2-0 pada set kedua, Swiatek tak mau terlihat tertekan. Dia kelola emosinya dengan baik. Hasilnya, setelah merebut satu gim, dia merampas lima gim berikutnya tanpa bisa diinterupsi Gauff.
"Iga menghadapi situasi stres di Paris, tapi dia mengatasi tekanan papan skor dengan bermain luar biasa," kata Pam Shriver.
Swiatek pun menyamai rekor 35 menang berturut-turut Venus Williams, setelah dua hari sebelumnya menyamai rekor 34 kemenangan secara beruntun yang dibuat Serena Williams. Swiatek menyebut keberhasilannya melampaui rekor Serena sebagai hal spesial.
Penampilan bengis petenis Polandia itu tak hanya terjadi tahun ini karena pada French Open 2020 pun begitu, padahal waktu itu dia adalah petenis non unggulan.
Waktu itu pun Swiatek tak membiarkan lawan-lawannya merebut lebih dari lima gim. Unggulan kedua saat itu, Simona Halep, dibabatnya dalam waktu satu jam dengan 6-1, 6-2 pada babak keempat. Pun Sofia Kenin yang saat itu juara bertahan Australian Open, yang bertekuk lutut 6-4, 6-1 dalam partai final. Dia pun menjadi petenis Polandia pertama yang menjuarai Grand Slam.
Penampilannya yang begitu dominan menggoda legenda tenis putra John McEnroe yang kini komentator NBC berkomentar, "caranya bermain saat ini akan sulit membayangkan dia tak akan berhasil memenangkan separuh lusin Grand Slam."
Tapi Swiatek tak mau disebut sempurna. Dia justru mengaku masih harus berkembang dan malah lebih tertarik bermain konsisten sepanjang waktu.
"Saya kira perubahan terbesar dalam diri saya adalah menjadi konsisten. Saya kira inilah yang sulit dilakukan dalam tenis putri. Itulah mengapa kami (tenis putri) punya begitu banyak juara baru Grand Slam karena kami tidak sekonsisten Rafa (Nadal), Roger (Federer) dan Novak (Djokovic)," kata Swiatek seperti dikutip laman ESPN. "Itulah mengapa tujuan saya adalah menjadi konsisten."
Konsistensi itu pula yang membuat dia merasa memang pantas menyandang nomor satu dunia, bukan karena mendapatkan limpahan status itu setelah Ash Barty yang saat itu menyandang peringkat satu dunia di atas Swiatek gantung raket Maret lalu.
Swiatek awalnya tidak nyaman. Namun setelah tahu dia bisa membuktikan diri memang pantas berada di tangga teratas tenis putri dunia, dengan tak pernah kalah sampai kini, dia tak lagi tak senyaman dulu. Kini dia merasa memang pantas ada di kursi itu.
Meskipun demikian dia tak akan berhenti membuktikan diri. Kini perhatiannya tertuju kepada Wimbledon yang tahun lalu hanya bisa dia ikuti sampai babak keempat, walau pernah menjuarainya pada 2018 pada tingkat junior.
Apa yang belum dicapainya itu sangat mungkin membuatnya tertekan, namun tekanan seperti itu malah membuat dia tahu seberapa besar tantangan dan kesempatan yang dia punyai.
"Saya kini merasa lebih bebas. Saya merasa telah membuktikan diri," kata Swiatek. Dan dia pun siap menaklukkan arena-arena lain.