Samarinda (ANTARA Kaltim) - Mendapatkan pendidikan yang layak merupakah salah satu hak mendasar bagi setiap anak bangsa di negeri ini, tidak terkecuali bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Pengelompokan sekolah reguler dengan sekolah luar biasa semakin mempertegas jurang pemisah bagi kedua kelompok tersebut, akibatnya semakin mempengaruhi perkembangan psikologi anak.
Anggota DPRD Kaltim, Abdul Djalil Fatah mengatakan Kaltim sebagai daerah yang paling kuat berkomitmen terhadap perkembangan kemajuan pendidikan masih jauh tertinggal dengan DI Yogjakarta, terkait penerapan sekolah inklusi.
"Saya sebagai orang Kaltim malu, sebab sudah menjadi komitmen bersama bahwa pendidikan merupakan salah satu tiga program unggulan daerah, di samping kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Semua itu tertuang pada nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi dengan seluruh kabupaten/kota se-Kaltim terkait komiten dua puluh persen alokasi anggaran APBD. Walaupun demikian masih belum mampu menciptakan keadilan bagi seluruh anak didik," kata Abdul Djalil Fatah kala memimpin rombongan kunjungan kerja Komisi IV DPRD Kaltim ke Sekolah Dasar Giwangan, DI Yogjakarta, Kamis (18/4) lalu.
Djalil didampingi Sekretaris Komisi IV, Mudiyat Noor dan anggota Komisi IV Zain Taufik Nurrohman, Lelyanti Ilyas, Hj Puji Astuti, Yakob Ukung, dan HA Waris Husain.
SD Giwangan merupakan contoh nyata sebuah keberhasilan dalam menyambungkan jurang pemisah yang hingga saat ini masih terjadi di Kaltim, yakni pembedaan sekolah reguler dengan sekolah luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus.
Djalil menyebutkan, sekolah Inklusi adalah sekolah yang menampung semua pesarta didik baik yang normal maupun berkelainan di kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik.
"Sekolah inklusi merupakan tempat setiap anak untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu dengan guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi," kata Djalil Fatah.
Di samping itu hal yang mendukung kemajuan dari pendidikan di Yogjakarta adalah prinsip pengabdian bagi para guru, karena insentif yang diberikan oleh pemerintah sangat jauh jika dibandingkan dengan di Kaltim atau daerah lainnya. Insentif guru SD yang menangani pendidikan inklusi disana hanya kurang lebih Rp150 ribu. Hanya dengan semangat pengabdianlah yang membuat mereka mampu bertahan.
Oleh sebab itu ke depan, menurut Djalil Fatah, pihaknya menindak lanjuti dengan menjadwalkan pada agenda kerja komisi IV dengan mitra kerja, seperti dinas pendidikan, agar nantinya Kaltim mampu melakukan hal yang sama dalam pendidikan inklusi.
Sementara itu kepala sekolah SD Giwangan Jubaidi, mengatakan sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama, dengan peserta didik pada umumnya.
"Selain itu sudah ada intruksi dari pemerintah Pronvinsi dan Kota Yogjakarta untuk tidak membeda-bedakan anak dalam menempuh pendidikan. Itu artinya seluruh sekolah yang ada tidak menolak apabila ada anak yang berkebutuhan khusus yang ingin belajar di sekolah manapun, disamping dengan adanya beberapa persyaratan mendasar lainnya," ujar Jubaidi.
Untuk kepentingan pendidikan inklusi, menurut dia, peserta didik yang memiliki kelainan dapat dikelompokkan menjadi tunanetra atau gangguan penglihatan, tunarungu atau gangguan pendengaran, tunawicara atau gangguan komunikasi, tunagrahita atau gangguan kecerdasan, tunadaksa atau gangguan fisik dan kesehatan, tunalaras atau gangguan perilaku dan emosi, serta anak kesulitan belajar dan autisme. (Humas DPRD Kaltim/adv/bar/mir)
Pendidikan Kaltim Harus Contoh Yogyakarta
Selasa, 23 April 2013 6:39 WIB