Ujoh Bilang (ANTARA) - Vivi Nunit (20), gadis berdarah campuran Dayak Tunjung dan Dayak Bahau berkulit kuning langsat dengan wajah mungil itu, dua hari terakhir tampak serius menghapal lagu Bahau berjudul 'Ngaraang Hudoq'. Lagu yang jarang ia dengar dan belum 100 persen dihapalnya.
Meski begitu, gadis berwajah imut dan bertubuh ideal ini dengan penuh semangat terus menghapal lagunya karena ia dipercaya oleh kantornya untuk menyanyikan lagu daerah dalam rangkaian Festival Hudoq Cross Border yang digelar pada 23-26 Oktober 2019.
Menghapal lagu oleh Vivi merupakan salah satu "perjuangan" yang tidak tampak di balik hingar bingar Festival Hudoq Cross Border.
Masih banyak persiapan lain yang memerlukan konsentrasi, kesabaran, maupun koordinasi dengan pihak tertentu.
Misalnya membuat kostum hudoq yang perlu konsentrasi dan kesabaran karena harus merajut daun pisang untuk dijadikan baju dan celana saat menari hudoq, kemudian merangkai potongan kain warna-warni untuk tari nebeq yang merupakan bagian hudoq.
Festival Hudoq Cross Border merupakan agenda seni dan budaya tahunan yang digelar oleh Pemkab Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), Provinsi Kalimantan Timur, setiap bulan Oktober.
Festival ini bahkan sudah menjadi agenda tahunan Kementerian Pariwisata (Kemenpar).
Satu hari sebelum pelaksanaan festival, kemeriahan tampak di sejumlah ruas jalan, terutama mulai pintu gerbang kabupaten, yakni di Pelabuhan Ujoh Bilang menuju lapangan, pusat festival digelar.
Deretan umbul-umbul destinasi pariwisata dan umbul-umbul khas Dayak turut mewarnai jalan sebagai penanda adanya giat besar.
Umbul-umbul khas ini berbahan kayu yang diraut sangat tipis sehingga membentuk mirip spiral memanjang sekitar 1 meter.
Umbul-umbul diikat berderet dan menggantung pada tali memanjang yang disanggah oleh tongkat kayu dari ujung ke ujung, sehingga selain memunculkan estetika juga menyerupai pagar pembatas di sisi kanan dan kiri jalan.
Dalam Festival Hudoq yang memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia-Dunia (Muri) dengan menari hudoq 24 jam ini juga ada hal baru, yakni Hudoq Nebeq.
Nebeq merupakan bagian dari tari hudoq yang sejak zaman dulu telah dilakukan oleh nenek moyang dari Subsuku Dayak Bahau.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, nebeq hampir tidak pernah ditampilkan ketika digelar Upacara Hudoq, sehingga tahun ini tradisi tersebut disajikan kembali untuk memeriahkan Festival Hudoq karena dalam nebeq terdapat banyak warna yang disuguhkan.
Nebeq merupakan rangkaian pengiring tari yang biasanya dilakukan kaum hawa, yakni para wanita membawa bagian atas bambu yang rantingnya tidak dipotong, hanya daunnya yang dihilangkan.
"Semua ranting tersebut kemudian dihiasi dengan potongan kain warna-warni yang diikatkan pada ranting bambu sehingga terlihat meriah, kemudian dibawa keliling mengikuti penari hudoq. Inilah yang membuat suasana yang mistis namun menarik, menjadi lebih berwarna dan lebih semarak," kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Mahulu Kristina Tening.
Sementara itu, Pengurus Dewan Adat Dayak Kabupaten Mahakam Ulu, Darmasius Apung mengatakan Tari Nebeq merupakan bagian dari Tari Hudoq yang berfungsi sebagai pengiring, yakni kaum ibu membawa nebeq (bambu yang digantungi hiasan kain warna-warni) sehingga adanya nebeq akan makin menyemarakkan suasana.
"Tari Nebeq ini hampir punah karena sangat lama tidak ditampilkan, bahkan generasi muda mungkin ada yang tidak tahu. Atas dasar itu, kemudian Pak Bupati (Bonifasius Belawan Geh) minta dimunculkan Tari Nebeq dalam festival ini. Semoga kemunculan yang diawali tahun ini, untuk selanjutnya akan tetap lestari," kata Apung.
Tari Hudoq bukan sekedar hiburan, namun bagian dari ritual sejak lama, yakni ritual warisan nenek moyang saat menugal sehingga ia berpendapat tari ini tidak boleh dibawa ke luar daerah dan disajikan pada sembarang waktu, tapi harus dilakukan ketika musim tanam padi karena dalam tari ini juga ada ruh kesuburan untuk pertumbuhan padi.
"Jika ini dilanggar, maka warga akan terkena bala atau tula, seperti banyak yang dilanda sakit, musibah, atau bala lainnya. Biasanya sebelum bala ini muncul, akan ada tanda-tanda alam, bisa juga tanda melalui mimpi dari tokoh tertentu," katanya.
Varian Baru
Bupati Mahulu Bonifasius Belawan Geh, saat pembukaan Festival Hudoq Cross Border di Ujoh Bilang pada Kamis (24/10), mengatakan, Tari Hudoq Cross Border merupakan jenis tari varian baru
.
"Saya sebut varian baru karena merupakan gabungan tari dari berbagai Subetnis Dayak. Dulunya, Tari Hudoq hanya digelar per kampung, yakni ketika musim menanam padi (menugal) di bulan Oktober, atau saat musim panen seperti bagi etnis Bahau di Kampung Matalibaq," katanya.
Namun dengan adanya Hudoq Cross Border, maka semua subsuku bisa bergabung dalam tari ini, baik sebagai Penari Hudoq maupun sebagai Pengiring Hudoq, sehingga dalam perkembangannya tercipta varian baru karena dari semula hanya digelar per kampung, menjadi lintas kampung dan lintas kecamatan.
Untuk itu ia memberikan instruksi kepada Dinas Pariwisata setempat segera melakukan kerja sama dengan pihak terkait untuk mematenkan Tari Hudoq Cross Border, sehingga tari khas ini bisa menjadi ikon daerah.
"Dalam kesempatan yang penuh makna ini, saya instruksikan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disparpora) berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan pihak terkait lain untuk segera mematenkan Tari Hudoq Cross Border," ujarnya.
Ia juga minta Disparpora Mahulu berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan pihak lain terkait, karena dalam festival ini juga terjadi transaksi ekonomi, sehingga diharapkan hasil koordinasi dengan berbagai pihak bisa tercetus gagasan dalam pengembangan ekonomi.
Dalam festival yang mampu menyedot ribuan pengunjung baik dari dalam kabupaten maupun dari pihak luar tersebut, tentu semua yang hadir akan perlu penginapan, makan, minum, jajanan, souvernir, bahkan mungkin ada hal-hal unik lain yang bisa di jadikan oleh-oleh bagi tamu, sehingga masih terbuka peluang membuka usaha baru.
Ia melanjutkan bahwa dalam Tari Hudoq juga mengandung makna ketaatan kepada Sang Pencipta karena melalui hudoq, masyarakat dibimbing untuk percaya dan memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar padi yang ditanam tidak dimakan hama dan bisa panen memuaskan.
Gelaran hudoq juga mengajarkan masyarakat Mahulu mengutamakan gotong royong, karena tanpa kerja sama, persahabatan, dan persatuan, akan sulit tercipta kekompakan berhudoq, sehingga dengan kerja sama sekaligus melestarikan budaya ini juga berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
"Awalnya Tari Hudoq di Mahulu digelar per masing-masing kampung (desa), tapi mulai dua tahun ini digelar secara bersamaan se-kabupaten atau lintas kampung, sehingga kegiatan ini kemudian disebut cross border," ujarnya.
Nama cross border juga merupakan agenda dari Kementerian Pariwisata, yakni khusus bagi daerah-daerah yang berbatasan dengan Malaysia atau lintas negara.
Untuk itu, bukan hanya di Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki nama cross border yang dalam hal ini disandang oleh Mahulu, tapi juga provinsi lain yang juga berbatasan dengan Malaysia seperti Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat.
Dalam festival yang dilakukan oleh ribuan Penari Hudoq mulai dari penari inti (berkostum daun pisang dan memakai topeng) hingga penari pengiring (berkostum adat Dayak) ini, bupati juga mengatakan bahwa dari Festival Hudoq terbukti mampu menyatukan berbagai subsuku yang ada di Mahulu.
Kabupaten Mahulu didominasi oleh Etnis Dayak yang terbagi menjadi berbagai subetnis atau subsuku antara lain Bahau, Aoheng, Kenyah, Tunjung, dan lainnya.
Bahkan ada warga selain Dayak yang ikut bergabung dalam Tari Hudoq sehingga festival ini seolah menjadi lambang pemersatu.
Menurut bupati, para leluhur Mahulu berabad-abad lalu menyadari bahwa suatu ketika akan ada perubahan zaman dan munculnya modernisasi, para nenek moyang mengkhawatirkan generasi penerus larut dalam perubahan zaman yang berpotensi melupakan akar budaya lokal.
"Untuk itu, para leluhur mencipta budaya yang kini menjadi tradisi berupa Tari Hudoq, sehingga tari tersebut sampai kini lestari dan bisa mempersatukan beragam etnis dengan cara menari bersama seperti sekarang," ujar Bonifasius.
Dalam pembukaan Festival Hudoq Cross Border yang ditandai dengan pemukulan bedug itu, Bupati Mahulu didampingi oleh Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang yang dipercaya memukul gong, bersamaan bupati yang memukul bedug.
Turut mendampingi pemukulan bedug tunggal dan gong itu adalah Wakil Bupati Mahulu Y Juan Jenau dan Ketua DPRD Mahulu Novita Bulan.
Pembukaan ini juga dihadiri sejumlah undangan antara lain dari Kementerian Pariwisata, Dinas Pariwisata Provinsi Kaltim, perwakilan dari Kota Balikpapan, Bontang, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat.
Multi Makna
Bupati juga mengatakan Festival Hudoq Cross Border memiliki banyak makna, antara lain makna sosial, budaya, spritual, ekonomi, dan makna pembangunan.
Makna sosial dalam arti bahwa semua masyarakat bisa berinteraksi sosial dan bersilaturahmi melalui pergelaran ini, karena banyak diantara mereka yang bisa jadi lama tidak ketemu, namun dipersatukan di acara ini.
Sedangkan makna sosial diantaranya untuk melestarikan adat dan budaya yang diwariskan dari nenek moyang, sehingga sampai kapan pun Tari Hudoq bisa lestari karena diperingati setiap tahun.
Apalagi gelaran ini sudah masuk dalam agenda tahunan nasional, yakni masuk dalam agenda Kementerian Pariwisata.
Untuk makna spritual, lanjut Bonifasius, Tari Hudoq merupakan tari persembahan sekaligus permohonan doa kepada yang Maha Kuasa, yaitu doa yang dipanjatkan agar padi yang baru saja ditanam tidak dimakan hama sehingga bisa menghasilkan panen yang memuaskan.
Untuk makna ekonomi, Tari Hudoq merupakan tari yang tidak bisa disajikan di sembarang waktu, tapi harus di Bulan Oktober karena di bulan ini merupakan musim menanam padi, sehingga secara ekonomi tari ini dipercaya bisa menjaga padi sampai masa panen sehingga secara ekonomi masyarakat akan sejahtera karena tidak kekurangan pangan.
Makna ekonomi lainnya adalah, dalam Festival Hudoq pasti menyedot banyak pengunjung yang bukan saja dari warga Mahulu, tetapi juga dari luar Mahulu seperti dari Samarinda, Balikpapan, Kutai Barat, dan daerah lain. Bahkan dari Kementerian Pariwisata juga hadir.
Dari banyaknya pengunjung ini, dampak ekonominya akan sangat terasa karena semua yang hadir pasti perlu penginapan, perlu makan minum dan lainnya, bahkan sebagian dari tamu pasti ada yang ingin membawa souvernir, sehingga perputaran uang tentu lebih banyak ketimbang hari-hari biasanya.
Sementara untuk makna pembangunan, tentu banyak hal yang bisa dipetik dari kegiatan ini, seperti kerja sama antara Dinas Pariwisata dan organisasi perangkat daerah (OPD) lain yang melakukan koordinasi untuk memuluskan festival, sehingga dari koordinasi ini akan berdampak pada kelancaran untuk kegiatan yang lain.
Mengingat begitu istimewanya festival yang melibatkan kepanitiaan bukan hanya tingkat kabupaten, namun juga adanya panitia kecil-kecil seperti panitia tiap OPD, panitia tiap kecamatan, hingga panitia terkecil di tingkat kampung ini, maka untuk tahun depan diyakini agenda ini akan lebih sempurna.