Balikpapan (ANTARA News Kaltim) - Pemerintah Indonesia mulai 2009 mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp2,5 hingga Rp3 triliun dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
"Dan semuanya kembali kepada program penanaman kembali," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di aula PT Balikpapan Forest Industry (BFI), Jenebora, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa sore (14/2).
Menhut Zulkifli Hasan berkunjung ke fasilitas milik PT BFI mulai dari konsesi hutan produksinya di Sotek, di utara Teluk Balikpapan, hingga pabrik plywood di Jenebora. Menteri Hasan juga menemani rombongan Menteri Pembangunan Internasional (Department For International Development/DFID) Kerajaan Inggris Andrew Mitchell.
Tanda kayu tebangan perusahaan sudah mengikuti SVLK adalah dengan dipasangnya bar code pada kayu tebangan tersebut. Selain berisi data tentang kayu yang bersangkutan seperti panjang, diameter, spesies, bahkan hingga hari dan tanggal pohon ditebang dan dari blok tebangan mana, bar code juga berisi tentang iuran dan kewajiban apa saja yang sudah dipenuhi perusahaan.
"Bar code-nya juga baru bisa diterbitkan setelah perusahaan memenuhi semua kewajiban yang digariskan berdasarkan tata niaga kayu," kata Listya Kusumawardhani, Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan (BIK-PHH) Kementerian Kehutanan RI di Tempat Penumpukan Kayu Hutan (TPKH) di Km 53 jalan logging PT BFI.
Iuran yang wajib dibayar itu antara lain Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) atau disebut juga Iuran Hasil Hutan (IHH).
Sementara ini, SVLK baru wajib bagi perusahaan yang mencapai produksi atau menghasilkan tebangan hingga 60.000 kubik kayu per tahun.
"Dari 157 industri kayu yang aktif, baru 97 perusahaan yang memiliki SVLK untuk hutan alam dan 22 perusahaan untuk hutan tanaman," ungkap Menteri Hasan. Jadi baru ada 119 perusahaan yang mengadopsi sistem ini.
Perusahaan yang mengikuti SVLK mendapat keuntungan karena kayu produknya atau barang-barang yang dibuat dari bahan baku produknya tersebut mendapat sertifikat Indonesia Legal Wood atau V-Legal Marking. Dengan adanya sertifikat tersebut, konsumen di Eropa dan Jepang, juga Australia tidak lagi mempertanyakan legalitas atau asal usul kayu, termasuk juga kepedulian perusahaan atas hutan yang terpelihara dan berkelanjutan.
Kayu yang sudah bertanda atau mendapat barcode juga produk legal, sehingga tidak perlu khawatir akan pungutan liar sepanjang perjalanan kayu mulai dari TPKH hingga ke pabrik yang selalu rawan dengan pungutan liar.
"Pengusaha membantu menciptakan pemerintahan yang bersih dan mereka mendapatkan biaya produksi yang lebih rendah, bebas ekonomi biaya tinggi," sebut Direktur BIK-PHH Listya Kusumawardhani.
Di sisi lain Menteri Pembangunan Internasional Kerajaan Inggris Andrew Mitchell menyatakan rasa puas dan senangnya pada contoh aplikasi SVLK yang dilihatnya di PT BFI.
"`Wonderful`, dari contoh dan apa yang saya lihat di sini, saya yakin Indonesia akan mampu mengelola hutannya menjadi lebih baik lagi," katanya setelah melakukan penanaman pohon di blok penanaman kembali PT BFI di Km 35 jalan logging perusahaan tersebut.
Menteri Mitchell menjelaskan, pemerintah Inggris, termasuk juga Uni Eropa, berkepentingan dengan legalitas kayu dan pengelolaan hutan lestari, selain karena tekanan masyarakat konsumen di Eropa bahwa mereka ingin produk yang legal dan berkualitas, mereka juga punya tanggung jawab moral untuk menjadikan dunia sebagai tempat hidup yang lebih baik.
"Dunia sebagai tempat hidup yang lebih baik itu tercipta dengan keseimbangan kita dengan alam," katanya.
Oleh karena itu, DFID mengucurkan tidak kurang dari 2 juta poundsterling selama tahun 2011 untuk membantu berbagai prograk kehutanan Indonesia, termasuk program SVLK. (*)
SVLK Beri Pemasukan Hingga Rp3 Triliun
Rabu, 15 Februari 2012 6:21 WIB