Samarinda (ANTARA Kaltim) - Program Kementerian Agama (Kemenag) dan BKKBN disinergikan terkait pernikahan yang harus dilakukan di usia matang antara 21-25 tahun untuk menghindari perceraian dan berbagai dampak lain akibat nikah dilakukan di usia muda.
"Tahun 2016 terdapat lebih dari 8.000 kasus perceraian di Provinsi Kaltim, sementara untuk pernikahan dini ada pada kisaran 650-700 kasus pada 2016," ujar Kasi Kepenghuluan dan Pemberdayaan Kantor Urusan Agama (KUA) Kemenag Provinsi Kaltim Johan Marpaung di Samarinda, Senin.
Hal itu dikatakan Johan saat menjadi pembicara dalam `Media Ghatering` yang digagas oleh BKKBN Provinsi Kaltim. Acara yang digelar di LKBN Antara Biro Kaltim tersebut mengangkat tema `Pernikahan Dini dan Program Generasi Berencana`.
Menurutnya, ada beberapa dampak yang ditimbulkan ketika terjadi pernikahan dini atau pernikahan di usia muda. Dari sisi ilmu kesehatan, perempuan melahirkan dengan resiko kecil adalah di usia 20-35 tahun. Ini berarti melahirkan dengan usia di bawah 20 tahun dan lebih 35 tahun memiliki resiko tinggi.
Perempuan hamil dengan umur 20 tahun ke bawah sering mengalami premature atau lahir sebelum waktunya, kemudian bayinya rentan mengalami cacat bawaan baik fisik maupun mental, dan sang ibu juga beresiko tinggi terkena kanker rahim.
Usia remaja juga belum matang secara psikologis karena mental dan emosinya masih labil. Apalagi usia muda umumnya belum memiliki pekerjaan tetap sehingga secara ekonomi akan menganggu dan rentan terjadi perceraian.
"Untuk menghindari pernikahan dini dan meminimalisir angka perceraian, kami teerus memberikan pemahaman kepada remaja, termasuk mengharuskan minimal 10 hari pasangan yang akan menikah harus terdata di KUA. Tujuannya adalah memberikan pemahaman kepada pasangan yang akan menikah karena dalam rumah tangga pasti akan banyak resiko yang muncul," kata Johan.
Sementara Kepala BKKBN Perwakilan Provinsi Kaltim Sukaryo Teguh Santoso mengatakan pasangan yang menikah di usia dini selain reproduksinya belum matang, umumnya akan mengalami kegagalan karier, karena dari pendidikan saja belum lulus sehingga sulit diterima di lapangan pekerjaan.
"Misalnya ada perempuan menikah di usia 16 tahun, jangankan lulus perguruan tinggi, lulus SMA saja mungkin belum. Hal ini tentu saja kariernya akan terputus karena tidak memiliki ijazah. Kecuali bisa membuka lapangan kerja sendiri, tapi ini kan jarang terjadi," katanya.
Untuk menghindari adanya pernikahan dini, katanya, perlu dilakukan pemahaman terhadap remaja dengan melakukan kerja sama berbagai pihak, termasuk kerja sama dengan Kemenag untuk melakukan pendidikan kepada remaja agar tidak menikah di usia muda.
"Dari 180 negara di dunia, Indonesia masuk di urutan 37 untuk angka pernikahan dini terbanyak. Sedangkan di ASEAN, Indonesia menempati posisi kedua setelah Kamboja untuk kasus yang sama. Inilah yang harus kita sikapi karena menikah di usia muda banyak memiliki resiko," ujar Teguh. (*)
Program Kemenag dan BKKBN Bersinergi Terkait Pernikahan
Selasa, 7 Maret 2017 7:45 WIB