Samarinda (ANTARA Kaltim) - Angka perceraian di Provinsi Kalimantan Timur cukup tinggi mencapai 8.000 kasus sampai November 2016, sebesar 70 persen cerai gugat diajukan pihak isteri.
"Dari 8.000 kasus perceraian tersebut, hal yang memiriskan adalah kasusnya didominasi cerai gugat dengan pengajuan oleh perempuan yang mencapai 70 persen," ujar Afiah Lasemi, pengurus DPD I Muslimah HTI Provinsi Kaltim di Samarinda, Kamis.
Sebagai upaya meminimalisir angka perceraian, beberapa hari lalu pihaknya menggelar seminar dikemas dalam Forum Muslimah Untuk Peradaban (Formuda) edisi 17, dengan tema "Darurat Perceraian, Darurat Ketahanan Keluarga, Solusinya?".
Tujuan diangkatnya tema ini, karena melihat realitas tingginya angka perceraian diajukan istri, baik yang terjadi di Kaltim khususnya maupun di Indonesia umumnya.
"Hal ini terjadi karena sistem sekuler liberal yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari," katanya.
Dalam seminar itu menghadirkan tiga narasumber, yakni Irma Suriani, SH yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Juli Nurdiana, M.Sc selaku dosen Fakultas Tehnik Unmul, dan Ratna Sari Dewi, SE selaku Anggota MHTI Kaltim.
Menurut Irma Suriani, pokok permasalahan dari tingginya angka perceraian karena ketidakharmonisan rumah tangga, masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, selingkuh, dan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri dalam pernikahan.
Menurutnya, solusi dari masalah itu adalah kembali memahami Islam, memenuhi hak dan kewajiban suami dan istri sesuai panduan Al"Quran dan Hadits, serta menciptakan kualitas keluarga karena dari keluarga yang kuat dan berkualitas akan lahir generasi yang religius.
Menurut Juli Nurdiana, tingginya angka perceraian disebabkan karena penerapan sistem sekuler yang menganut paham kebebasan, paham serba boleh dan serba hedonis.
"Tahun 2013 dan 2014 saja, kasus perceraian sudah menembus angka 43 kasus per jam. Bahkan kasus perceraian di Indonesia tahun 2013 yang tertinggi di Asia Pasifik," tegas Juli.
Menurutnya faktor utama perceraian adalah faktor eksternal, yaitu penerapan sistem sekuler kapitalis dan faktor internal berupa ketahanan keluarga yang rapuh karena ajaran Islam tidak dijadikan pondasi dalam pembangunan keluarga. (*)