Paser (ANTARA) - Anggota DPRD Kabupaten Paser, Abdul Aziz menyoroti keterbatasan layanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di wilayah kecamatan di Kabupaten Paser.
"Saya banyak menemui SD di Kecamatan yang kesulitan mengajar siswa ABK," kata Aziz, di Tanah Grogot, Rabu (27/8).
Ia memahami jika selama ini sebagian besar ABK diarahkan untuk bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun, fasilitas SLB di Kabupaten Paser hanya tersedia di ibu kota kabupaten.
Menurutnya kondisi tersebut membebani orang tua, terutama yang tinggal di kecamatan jauh dari pusat kota, karena mereka harus menanggung biaya transportasi tambahan dan mendampingi anak ke sekolah yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal.
"Pemerataan layanan pendidikan ABK harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Tidak semua anak bisa dipindahkan ke SLB di ibu kota kabupaten dan hal ini juga memberatkan orangtua. Sudah seharusnya sekolah di kecamatan mampu memberikan layanan yang layak bagi ABK,” katanya.
Aziz juga mempertanyakan keberadaan guru inklusi yang sebelumnya hadir untuk mendampingi para siswa ABK di sekolah umum, tenaga guru inklusi yang memiliki kompetensi khusus sangat dibutuhkan pada situasi sekarang.
Ia mengemukakan bahwa keberadaan guru inklusi sangat penting, karena perannya berbeda dengan guru umum. Guru inklusi di sekolah-sekolah dasar sangat diperlukan.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Paser, Yunus Syam mengungkapkan bahwa kewenangan terkait SLB merupakan ranah Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Yunus menjelaskan berdasarkan peraturan pemerintah pusat, untuk SD masih menggunakan guru sistem guru kelas, di mana satu guru mengajar hampir semua mata pelajaran di kelas rendah (1-3), sementara di kelas tinggi (4-6) tetap dominan guru kelas namun bisa ada pembagian terbatas untuk guru mata pelajaran seperti PJOK, Agama, dan seni budaya.
Oleh karena itu, jam mengajar guru inklusi (GPK – Guru Pendamping Khusus) tidak tercatat dalam struktur standar jam wajib seperti guru kelas atau guru mata pelajaran.
"Untuk SD, aturan di nasional masih pakai guru sekolah. Jam mengajar mereka (guru inklusi) tidak diakui karena SD ada sistem guru kelas, guru agama dan olahraga," jelas Yunus.
Namun untuk mengatasi hal itu, Dinas Pendidikan menyediakan program pelatihan agar guru kelas bisa memahami dasar-dasar penanganan ABK.
Lanjutnya, tidak semua ABK bisa ditangani oleh guru biasa karena ada tingkatan pada anak inklusi. ABK yang bisa bersekolah di sekolah umum dengan adaptasi atau modifikasi kurikulum ringan, tapi ada pula yang membutuhkan layanan khusus di SLB.
"kami ada pelatihan guru kelas agar mendapatkan ilmu untuk menangani anak iknlusi terdiri dari beberapa tingkatan. Untuk tingkatan tertentu tidak bisa sekolah di sekolah umum," ujar Yunus. (Adv)
