Samarinda (ANTARA Kaltim) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan sosialisasi pemberantasan korupsi di Kantor DPRD Kaltim Jl Teuku Umar, Karangpaci.
Sosialisasi tersebut dihadiri oleh 55 Anggota DPRD Kaltim, Sekretaris Dewan (Sekwan) Achmadi dan Pejabat Struktural serta sebagian staf Sekretariat DPRD Kaltim.
Dalam kesempatan itu Ketua DPRD Kaltim M Syahrun memberikan apresiasi atas dilaksanakannya kegiatan sosialisasi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK bersama dengan BPKP.
"Saya tentu meyambut positif atas dilaksanakannya sosialisasi pemberantasan korupsi ini. Ini tentu memberikan makna tersendiri bagi anggota dewan sebagai wakil rakyat sehingga daerah ini bebas dari kegiatan praktek korupsi," ungkapnya.
Sebelumnya, Pimpinan KPK RI Adnan Pandu Praja didampingi Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian menyampaikan, sosialisasi ini merupakan salah satu bentuk peran aktif KPK dalam mencegah terjadinya korupsi yang kini sedang merajalela di Indonesia.
“Tujuan pelaksanaan kegiatan sosialisasi ini guna mendorong adanya perubahan-perubahan untuk mengurangi terjadinya perbuatan korupsi di daerah. Agar perubahan-perubahan ini dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sehingga semua pihak harus sama-sama mengawal pemberantasan korupsi itu sendiri," ujarnya.
Pandu mengungkapkan sejauh ini para elite politik setingkat menteri pun banyak yang kurang memahami apa itu korupsi. Sehingga tanpa disadari para elite politik tersebut telah melakukan tindak korupsi. “Jika para elite politik saja tidak memahami apa itu korupsi bagaimana kita yang di tingkat bawah,†ucapnya.
Dia menjelaskan korupsi itu dapat terjadi jika ada monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang yang memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas dan tidak berintegritas.
“Atau lebih jelasnya korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka,†jelasnya.
Pandu menyatakan dewan dengan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasannya memiliki peran dalam pemberantasan korupsi. Salah satunya yang sering terjadi adalah korupsi sumber daya alam (SDA) di daerah terkait pengelolaan SDA yang mana banyak dari kegiatan pertambangan memiliki nilai manfaat yang rendah bagi masyarakat.
“Kegiatan pertambangan lebih banyak menimbulkan keuntungan bagi sebagian pihak dan merugikan negara serta menyisakan kerusakan lingkungan yang dirasakan masyarakat. Dengan fungsi pengawasannya tentu anggota dewan dapat mencegah terjadi korupsi SDA tersebut,†ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Fraksi Golkar Andi Harun mengadukan permasalahan kegiatan pertambangan di Kaltim yang terjadi di kawasan taman hutan raya (Tahura) Bukit Soeharto. Padahal menurutnya undang-udang mengatur bahwa kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan untuk kegiatan apapun, kecuali hanya untuk kepentingan rakyat.
Hal tersebut mengacu pada pasal 29 ayat (1) UU No 5 Tahun 1990, taman hutan raya (tahura) termasuk dalam kawasan konservasi. Begitu pula Tahura Bukit Soeharto. Pasal 38 UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 menegaskan, tidak boleh ada pemberian izin dan kegiatan pertambangan di kawasan konservasi. Izin dan kegiatan tersebut hanya boleh dilakukan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Caranya, melalui izin pinjam pakai kawasan. Dimana ada biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas izin pinjam pakai yang diberikan.
Dari kegiatan pertambangan di kawasan Tahura Bukit Soeharto tersebut, Negara diperkirakan mengalami kerugian mencapai Rp 18,2 triliun. Jumlah tersebut dihitung dari hilangnya pendapatan negara akibat tak terbayarnya biaya pinjam pakai kawasan hutan di kawasan konservasi.
Pada SK Menhut No 270/Kpts-II/1991 tanggal 20 Mei 1991 yang menetapkan Bukit Soeharto seluas 61.850 ha, ditemukan 31 KP/IUP dengan luas 1.204,94 ha di area tersebut.
Dengan mengacu pada besaran biaya pinjam pakai kawasan untuk tambang sesuai PP Nomor 2/2008 tentang PNPB — Rp 3 juta/ha/tahun di hutan lindung dan Rp 2,4 juta/ha/tahun di hutan produksi — maka potensi kerugian negara untuk 31 KP/IUP seluas 1.204,94 ha adalah Rp 2,89 triliun per tahun. Izin sudah diterbitkan sejak tahun 2008-2009 dan dilakukan pembiaran selama lima tahun, sehingga kerugiannya menjadi Rp 14,459 triliun.
“Selama ini masyarakat berpikir negatif dan menganggap pejabat daerahlah yang telah merusak Tahura dengan mengeluar izin pertambangan. Padahal jika pemerintah pusat yang dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak mengeluarkan izin penggunaan jalan angkut (hauling) batu bara mungkin hingga saat ini tidak ada satu pun pertambangan di Tahura Bukit Soeharto tersebut,†bebernya.
Mendapati laporan Andi Harun tersebut, Pandu mengatakan akan menindaklanjuti, meneliti dan mempelajari permasalahan pertambangan yang terjadi di Bukit Soeharto tersebut. (Humas DPRD kaltim/adv/lin/dhi/oke)
Tambang di Tahura Diadukan ke KPK
Kamis, 23 Oktober 2014 21:15 WIB