Penjabat Gubernur Kalimantan Timur Akmal Malik memproyeksikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Sylva Kaltim Sejahtera (SKS) yang bergerak di sektor kehutanan di provinsi tersebut mengelola dana karbon sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah.
"Kami ingin BUMD menjadi ujung tombak pemerintah untuk berbisnis. Tentunya mereka harus menyusun prospek bisnisnya dengan baik," kata dia di Samarinda, Minggu.
Ia mengatakan, SKS memiliki potensi untuk mengembangkan nilai ekonomi karbon melalui skema Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang merupakan program kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia.
"BUMD SKS itu bergerak sektor kehutanan yang memang kecil sekali kontribusinya, kurang dari Rp10 juta per tahun. Nah kami akan mendorong BUMD ini untuk nanti mencoba mengelola dana karbon tersebut. Nanti pengelolaan dana karbon akan dilimpahkan dari pemerintah Kaltim ke SKS," kata dia.
Pihaknya juga membuka kemungkinan untuk melakukan kolaborasi antara SKS dan BUMD lain yang memiliki kinerja baik, seperti Bank Pembangunan Daerah Kaltimtara atau PT Bara Kaltim Sejahtera.
"Belum ada berpikiran untuk merger. Tapi kita lihat dulu, setiap BUMD itu ada manfaatnya. Tinggal bagaimana mengolahnya saja," ujar Akmal Malik.
Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berhasil mendapatkan dana sebesar 110 juta dolar AS atau sekitar Rp1,7 triliun dari Bank Dunia. Dana tersebut merupakan imbalan atas upaya Kaltim dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui program REDD+.
Program REDD+ adalah program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi, pengelolaan berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan.
Program ini dievaluasi oleh Bank Dunia melalui mekanisme Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund (FCPF-CF). Bank Dunia juga telah menyalurkan uang muka sebesar 20,9 juta dolar AS atau sekitar Rp329 miliar.