Samarinda (ANTARA Kaltim) - Badan Legislasi (Baleg) DPRD Kalimantan Timur, kemarin (19/9), melakukan pertemuan terbuka dengan LSM yang mewakili masyarakat adat Dayak Kaltim terkait dukungan terhadap rencana pembuatan Raperda tentang Perlindungan Hak Adat Dayak.
“Pertemuan kali kedua ini guna mendengarkan penyampaian hasil kajian naskah akademik oleh perwakilan masyarakat adat Dayak Kaltim.
Karena penting bagi banleg untuk memperkaya dasar-dasar penguat sebelum melangkah ke arah yang lebih tinggi lagi,†kata Ketua Banleg DPRD Kaltim Rahmad Majid Gani di sela-sela pertemuan.
Majid mengatakan, Baleg telah melakukan sejumlah kajian dan penggalian informasi baik dalam maupun luar daerah yang lebih dulu memiliki peraturan daerah dimaksud, yaitu di Provinsi Bali dan Kalteng guna memperkaya dasar hukum dan filosofisnya.
Pihaknya akan terus melakukan upaya termasuk mengonsultasikannya ke pemerintah pusat, hingga dirasa cukup menjadi dasar untuk membuat surat rekomendasi kepada pimpinan dewan guna ditindaklanjuti.
“Mekanismenya banleg setelah melakukan kajian data dan berbagai informasi yang dibutuhkan, kemudian mengirim rekomendasi secara tertulis kepada pimpinan, untuk dibentuk panitia khusus,†tegas Majid.
Ketua Forum Dayak Menggugat (FDM) Rama Alexander Asia, mengatakan rencana ini tidak akan mengganggu kebhinekaan yang selama ini telah terjalin harmonis di daerah Kaltim. Bahkan semakin memperkuat persatuan dan kesatuan dengan saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya.
“Masyarakat Dayak hanya ingin sebuah pengakuan dalam bentuk perlindungan hukum adat yang di dalamnya memuat tentang semua hak-hak adat masyarakat Dayak sebagai penduduk asli daerah yang perlu mendapat perhatian,†ucap Rama.
Dijelaskannya, kehidupan masyarakat Dayak tidak bisa dilepaskan dari adat istiadat yang dilakukan secara turun temurun selama ratusan tahun silam. Namun, dalam perjalananya seiring dengan semakin berkembangnya daerah-daerah banyak hukum adat dayak yang dinilai bertentangan dengan hukum negara Indonesia.
“Contoh nyatanya adalah ketika penetapan hutan lindung oleh pemerintah. Banyak wilayah-wilayah hutan adat yang secara hukum administratif negara dianggap sebagai hutan negara yang dilindungi. Padahal masyarakat telah memanfaatkanya sejak sebelum Indonesia merdeka. Ini terjadi di beberapa daerah di Kaltim dan terus menimbulkan keresahan di masyarakat,†beber Rama.
Hal senada diungkapkan oleh Dr Simon, sebagai tim penyusun naskah akademik. Menurutnya eksploitasi sumber daya alam yang tiap tahun terus meluas dinilai tumbuh sebagai sumber konflik antara komunitas masyarakat adat Dayak dengan para pengusaha dan penguasa yang mengayominya.
Akibatnya, bertahun-tahun terus berlangsung proses kemiskinan struktual dan fungsional, sehingga masyarakat adat Dayak semakin tidak memiliki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disadari atau tidak, cenderung tidak memihak kepada kepentingan masyarat adat Dayak.
“Praktek marjinalisasi terhadap masyarakat adat dayak di Kaltim telah berlangsung sejak rezim orde baru hingga rezim penguasa saat ini. Situasi ketidakadilan ini merupakan akibat dari praktik-praktik peradaban materialistis pejabat negara,†ujar Simon. (Humas DPRD Kaltimadv/bar/met)
Baleg Serap Aspirasi FDM
Kamis, 19 September 2013 20:26 WIB