Banjarmasin (ANTARA) - Gua Batu Hapu yang merupakan salah satu geosite Geopark Meratus di Kalimantan Selatan masih terjaga eksistensinya hingga sekarang dengan keunikan yang memesona.
Memasuki mulut gua, mata langsung disuguhi dengan pemandangan takjub melihat akses masuk menyerupai gerbang raksasa yang luas dan atap berhias stalaktit yang runcing ke bawah.
Sebanyak dua pohon besar juga menyambut pengunjung saat menaiki tangga, sebelum melangkah kaki ke dalam gua. Pemandangan itu terasa megah bagi wisatawan yang ke tempat itu.
Eksistensi Batu Hapu masih terjaga sejak era 1970 hingga sekarang. Banyak kunjungan ke tempat itu, baik sekadar rekreasi maupun penelitian sejarah geologi.
Daya tarik pengunjung datang ke wisata Batu Hapu, salah satunya karena ada batuan karst yang berbentuk unik, yaitu stalaktit dan stalagmit.
Batuan itu terbentuk alami dengan proses yang sangat lama. Tetesan air terdengar di dalam gua yang menandakan salah satu proses pembentukan batuan tersebut sedang berlangsung.
"Tidak hanya wisatawan, ada juga para mahasiswa pencinta alam bahkan peneliti datang ke sini," ujar pemandu wisata Gua Batu Hapu, Subianto, Sabtu (11/6).
Selain memiliki ruang yang besar, keelokan Gua Batu Hapu tambah memesona pada saat titik ray of light (rol) mendapatkan cahaya Matahari di kisaran pukul 12.00-13.00 Wita.
Di momentum tersebut, cahaya Matahari yang masuk dari atas lubang gua, menembus kegelapan ruang hingga lantai gua.
Banyak kalangan dari Instagramable ataupun fotografer datang ke Gua Batu Hapu. Ada dua tanda pagar di Instagram yang ramai dipakai #guabatuhapu dan #goabatuhapu. Mengunjungi tanda pagar itu mungkin bisa memberi gambaran tentang karakter unik situs geologi warisan Bumi tersebut.
Menyusuri dan mengamati seluruh gua menggunakan cahaya senter, tapak demi tapak memerlukan waktu kurang lebih dua jam dan kehati-hatian karena jalur licin.
Di dalam gua, ada infrastruktur tambahan yang dibangun pemerintah daerah berupa tangga, fungsinya memudahkan pengunjung menyeberangi cekungan di dalam gua. Meskipun begitu, tidak mengubah esensi keindahan gua.
Kalau pengunjung ingin mendaki puncaknya, memerlukan waktu 30 menit, dengan medan jalur bebatuan karst. Dari atas Batu Hapu terlihat bentang Pegunungan Meratus yang menawan.
Wisata gua tersebut sudah ada sejak lama, mulai dikunjungi orang sejak era transmigrasi penduduk Jawa pada tahun 1970-an, hal itu juga yang memengaruhi nama gua, Batu Hapu artinya batu kapur dalam bahasa Jawa.
"Sudah begitu namanya dari dulu," ujar Subianto yang juga generasi masyarakat transmigran itu.
Sejak tahun itu, ternyata Gua Batu Hapu memiliki gua "rahasia" yang tidak boleh dikunjungi oleh wisatawan umum. Jumlahnya ada tiga buah, bahkan pemandu itupun tidak tahu persis isi keseluruhan gua tersebut.
"Hanya Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) dan para peneliti yang pernah masuk. Tiga mulut gua ada di bawah dan jalan menuju ke sana tidak di buka," ujarnya.
Meskipun begitu, gua yang saat ini dibuka untuk umum sudah sangat memuaskan, memberikan wawasan tentang batuan dan keunikan Bumi.
Di lingkungan Gua Batu Hapu masih banyak pepohonan besar dan udara yang lebih segar dibandingkan dengan di Kota Banjarmasin.
Tepat memasuki kawasan tersebut, juga ada taman dengan aneka patung binatang, rumput karpet, cocok untuk tempat santai keluarga menghabiskan akhir pekan.
Biaya masuk dipatok Rp5.000. Hasil dari retribusi tersebut pertama dibagikan untuk pemerintah daerah, setelah itu pengelola dan apabila ada lebih masuk ke kas desa.
Tidak hanya di karaoke ada pemandu, di Gua Batu Hapu pun juga ada jasa pemandu untuk wisatawan yang ingin ditemani menyusuri gua.
Pihak pengelola tidak memasang tarif alias sukarela, seikhlas wisatawan yang memakai jasa untuk memberikan upah atas waktu, tenaga dan wawasan pemandu.
Legenda
Kurang Indonesia rasanya kalau tidak ada legenda yang melekat di sebuah situs purbakala tersebut. Gua Batu Hapu disebut masyarakat sebagai pecahan kapal besar milik seorang raja bernama Angui.
Kapal tersebut berubah menjadi batu karena Angui durhaka kepada ibunya yang bernama Kudampa.
Kutukan sang ibu dipicu karena sakit hati oleh perbuatan Angui yang tidak mengakuinya sebagai orang tua setelah sukses berkarir. Hingga saat ini kisah itu masih menjadi cerita rakyat, ketika ditanya terkait asal usul Gua Batu Hapu.
"Ceritanya turun-temurun seperti itu. Tapi ya, wallahualam. Cerita mirip seperti kisah Malin Kundang," ujar Pengelola Gua Batu Hapu Subianto.
Cerita rakyat itu diabadikan ke sebuah beton di depan gua yang dilukis, menggambarkan peristiwa kutukan sebelum Agui beserta kapalnya menjadi batu.
Pada era modern ini, sudah ada penelitian yang menceritakan asal usul Gua Batu Hapu tersebut.
Batu Hapu, dari catatan Badan Pengelolaan (BP) Geopark Meratus, secara geologi berada di kawasan cekungan Barito, yaitu formasi berai yang berumur oligosen-miosen awal (16-36,5 juta tahun lalu). Secara historis Gua Batu Hapu juga serupa dengan Gua Baramban Kecamatan Piani, Tapin.
Situs geologi purba kala tersebut masuk sebagai salah satu dari 74 geosite Geopark Meratus. Geopark Meratus yang memiliki keunikan dan nilai sejarah geologi itu, berhasil mendapatkan pengakuan sebagai geopark nasional pada 2018.
Pengakuan tersebut, buah dari perjuangan Pemerintah Provinsi Kalsel bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM).
Gua Batu Hapu berada di Desa Batu Hapu, Kecamatan Hatungun, Kabupaten Tapin, jaraknya dari Kota Banjarmasin sekitar 200 km.
Secara umum, Kecamatan Hatungun merupakan dataran tinggi, rata-rata ketinggian dari 50- 500 meter di atas permukaan laut.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), posisi Hatungun ada di 2,3343 – 30043 Lintang Selatan dan antara 114,4613 – 115,3033 Bujur Timur, dengan luasan wilayah dataran 79,572 kilometer persegi.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tapin Hamdan Rosyande mengatakan selain Gua Batu Hapu ada dua geosite Geopark Meratus lain di daerah itu.
"Ada Gua Baramban dan Air Terjun Balawayan, lokasinya berada di Kecamatan Piani, tepat di wilayah kawasan adat Dayak Meratus," ujarnya.
Ternyata Pemerintah Kabupaten Tapin juga peka untuk memuliakan warisan Bumi tersebut, saat ini sudah dirancang pengembangan geosite untuk pariwisata.
Dengan pariwisata, dinilai dapat memelihara, merawat dan menjadi manfaat untuk masyarakat di sekitar geosite. Sebanyak tiga geosite Geopark Meratus tersebut, sudah terdaftar dalam SK Gubernur Kalsel nomor 188.44/0531/KUM/2018.
Melihat keseriusan tersebut, Pemkab Tapin kembali mempromosikan dan meminta dukungan pengembangan pariwisata ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di Jakarta, Jumat (10/6).
Tidak ketinggalan, geosite purba turut menjadi prioritas pengembangan yang diusulkan, Bupati Tapin M. Arifin Arpan waktu itu.
Menyusul pengembangan wisata Gua Batu Hapu, pemerintah daerah mulai menyusun detailed engineering design (DED) untuk menunjang salah satu geosite Geopark Meratus, yaitu Gua Baramban.
Kawasan pengembangan sudah ada 4,5 hektare lahan, di antaranya untuk membangun zona area parkir dan gerbang, area taman rekreasi, area gua, dan bangunan pendukung lainnya.
“Estimasi rencana anggaran biaya perencanaan objek wisata Gua Baramban Rp18.771.903.000," ujarnya.
Sayangnya, daerah tidak cukup uang untuk membangun infrastruktur penunjang geosite tersebut. Maka dari itu, Tapin berharap bantuan dari pihak kementerian.
Pengembangan geosite di Tapin direncanakan dikerjakan secara bertahap. Pihak dinas terkait sudah menyatakan mempunyai rencana strategis untuk pengembangan pariwisata.
Hasilnya diniatkan sebagai langkah pembangunan ekonomi masyarakat dan konservasi melalui pariwisata.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Eksistensi Gua Batu Hapu situs geologi purba di Kalsel