Jakarta (ANTARA) - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mendesak Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Pol Boy Rafli Amar untuk tetap mengedepankan prinsip pelindungan hak asasi manusia (HAM) dalam upaya mencegah dan menanggulangi tindak pidana terorisme.
Permintaan itu merupakan salah satu hasil rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPR RI dan Kepala BNPT, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
"Komisi III DPR RI mendesak Kepala BNPT lebih mengoptimalkan fungsi pencegahan terorisme dengan melakukan langkah-langkah antisipasi secara terus-menerus yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian sebagai upaya untuk mencegah paham radikal terorisme," demikian isi poin pertama kesimpulan rapat tersebut sebagaimana dibacakan oleh pimpinan sidang, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh.
Di samping mengingatkan pentingnya prinsip pelindungan HAM dan kehati-hatian dalam upaya mencegah paham radikal terorisme, Komisi III meminta BNPT untuk meningkatkan koordinasi dengan para pemangku kepentingan terkait.
"Komisi III DPR RI mendukung Kepala BNPT agar terus meningkatkan pola koordinasi dan konsolidasi dengan kementerian/lembaga, universitas, lembaga riset, organisasi keagamaan, dan lembaga internasional, serta turun ke daerah-daerah untuk melakukan sosialisasi guna menangkal bibit-bibit paham radikal terorisme," demikian poin terakhir kesimpulan rapat dengar pendapat antara Komisi III dan BNPT yang dibacakan pada penghujung pertemuan.
Dua poin kesimpulan itu mengakhiri rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR RI dan Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar yang membahas beberapa agenda, antara lain evaluasi kerja BNPT selama beberapa tahun terakhir, cetak biru penanggulangan terorisme, pola koordinasi BNPT dan lembaga lain, serta rencana pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme.
Dalam paparannya, Boy yang turut didampingi beberapa pejabat BNPT, menjelaskan BNPT telah membuat rencana aksi nasional penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme (RAN PE).
Rencana aksi itu, kata Boy, dapat menjadi acuan bagi kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk menyusun program-program pencegahan radikal terorisme serta ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Boy, pada pertemuan itu menegaskan istilah "ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme" merupakan satu frase yang harus disebut secara utuh sebagaimana mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021.
Ia menjelaskan istilah itu merujuk pada potensi aksi radikal terorisme di tingkat hulu.
Walaupun demikian, penggunaan istilah ekstremisme oleh BNPT dikritik oleh salah satu anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Romo HR Muhammad Syafi'i atau yang akrab disapa Romo.
Romo mempertanyakan asal mula penggunaan istilah ekstremisme pada perpres serta rencana aksi BNPT.
"Ekstremisme ini sesuatu makhluk baru yang berdiri sendiri, yang lahirnya tidak lewat kajian antara pemerintah dan rakyat dalam hal ini direpresentasikan oleh DPR RI, sehingga dalam praktiknya tidak tertutup kemungkinan ada multitafsir," ujar Romo, yang pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme.
Ia pun menyampaikan kekhawatirannya bahwa penggunaan istilah ekstremisme tanpa disertai pembahasan yang jelas dan menyeluruh dapat menimbulkan ketakutan-ketakutan di tengah masyarakat.
"Kita membutuhkan guidance (panduan, Red) yang jelas atau tidak karet, kalau tidak ingin yang lebih revolusioner mengusulkan pembatalan Perpres Nomor 7 tentang Ekstremisme, karena ini menimbulkan ketakutan-ketakutan baru," kata Romo.
DPR RI desak BNPT kedepankan prinsip HAM cegah terorisme
Senin, 22 Maret 2021 15:17 WIB