Partai Gelora menanggapi pandangan soal partai politik baru dianggap lebih sulit bersaing pada penyelenggaraan pesta demokrasi 2024 mendatang.
Sekjen Partai Gelora Indonesia Mahfudz Siddiq, dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat, mengakui partainya memiliki strategi tersendiri agar dilirik dalam Pemilu mendatang.
Menurut dia, partai politik harus berhenti menjadi partai yang mengobral janji demi menggalang suara.
“Parpol harus betul-betul menjalankan semua fungsi sebagai partai politik. Terutama pendidikan politik dan advokasi atau agregasi kepentingan politik masyarakat," kata dia.
Kalau hal itu dilakukan,, menurut dia, masyarakat tentunya akan memiliki preferensi baru tentang partai politik.
"Mereka lebih menerima dan menyukai partai politik. Jadi, tidak sekadar transaksi jual beli suara seperti perilaku politik selama ini,” katanya.
Hal itu, lanjut Mahfudz juga harus disupport dengan penguatan infrastruktur teritorial partai terpenuhi secara nasional. Saat ini, menurut a dirinya, Partai Gelora sudah terbentuk di 34 provinsi.
“Kami sudah ada di 511 kabupaten/kota tinggal tiga lagi yang belum, ada juga di sekitar 5.700-an kecamatan atau 72 persen ada kepengurusan Partai Gelora," katanya.
Partai Gelora, lanjut dia, juga juga sudah membuat dan mengatur kepengurusan di tingkat desa kelurahan.
"Ada sekitar 2.500 yang sudah terbentuk dari 80 ribuan. Sisanya masih banyak. Tapi akan kami rampungkan hingga jelang 2024,” kata Mahfudz.
Kehadiran partai politik baru kerap mewarnai perhelatan pemilu, banyak parpol baru sulit untuk bertahan lama. Sebagian ada juga yang menuai hasil bagus dan mampu eksis bahkan semakin berjaya hingga saat ini.
Untuk bersaing dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2024 mendatang sangat lah sulit. Sekalipun, partai tersebut memiliki pendanaan yang cukup ataupun pendirinya pernah menduduki kursi-kursi petinggi negara ini.
Hal tersebut dikatakan oleh Cendikiawan Muslim Prof Azyumardi Azra dalam Moya Discussion Group bertajuk Parpol Baru & Dinamika Politik Nasional.
Prof Azra menyarankan para pendiri partai baru untuk mencari cara lain untuk memperoleh suara yang signifikan agar bisa memenangkan partainya.
“Partai yang kuat keuangannya pun tidak bisa masuk parlemen. Misalnya Perindo, walau didukung keuangan dan media yang kuat, tetap saja tidak bisa masuk. Jadi Partai Pak Mahfud (Partai Gelora) walau didukung kekuatan uang sekalipun tidak akan memberikan jaminan,” kata Azra.
Meskipun begitu, kata Azra, harus diakui bahwa masih ada partai yang terbilang masih baru namun dia bisa memenangkan pileg karena dukungan dana yang cukup atau karena tokoh pendirinya.
Kedua partai itu, yakni Gerindra yang baru berdiri tahun 2008 dan Nasdem yang baru berdiri pada tahun 2011.
Seperti yang diketahui, Nasdem bisa mendapat perolehan suara hingga 9,05 persen dan Gerindra 12,57 persen pada Pemilu 2019.
Seperti yang diketahui, Nasdem bisa mendapat perolehan suara hingga 9,05 persen dan Gerindra 12,57 persen pada Pemilu 2019.
Oleh sebab itu, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu berpesan kepada keempat partai yang baru didirikan pada 2020 itu untuk mempunyai strategi khusus jika ingin betul-betul bersaing dengan partai-partai lainnya yang lebih senior.
“Partai harus reorientasi kepentingan rakyat. Kembali kepada rakyat, tidak hanya mementingkan kepentingan politik mereka sendiri, kepentingan kekuasaan tanpa mementingkan rakyat sama sekali,” kata dia.
Sementara itu, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komaruddin Hidayat berharap panggung politik, persaingan kompetisi antar parpol ibarat sepak bola.
“Tunjukkan permainan yang indah, cerdas, penuh etika, sehingga menarik untuk ditonton dan diikuti. Jangan menyebalkan,” katanya.
Kemudian, Diplomat senior pemerhati politik internasional Prof Imron Cotan menyampaikan harapannya kepada partai politik baru untuk mencoba memberikan alternatif baru.
“Apakah tawaran dari Partai gelora misalnya, untuk mensinergikan agenda keummatan dan kebangsaan bisa menarik perhatian calon pemilih, itu kita lihat nanti. Kemudian, perbedaan spektrum politik, tidak harus meninggalkan prinsip kebangsaan kita, Satu Bangsa, Satu tanah Air dan Satu Bahasa yaitu Indonesia,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Moya Institute yang juga Peneliti Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) Hery Sucipto menilai kehadiran partai politik baru menjadi menarik, meskipun Pilpres 2024 masih tiga tahun lebih, namun partai-partai baru sudah mulai ancang-ancang.
“Pilpres 2024 tidak ada incumbent. Selain itu, kenapa masih ada yang berani mendirikan partai baru di tengah paceklik politik saat ini yang kita tahu semua penuh ketidakpastian, antara lain masih banyaknya korupsi, instabilitas politik dan ekonomi,” ujarnya.