Samarinda (ANTARA News - Kaltim) - "Cukup sekali. Apalagi saya punya pengalaman buruk saat menghadiri Erau," kata Dewi, seorang warga Kota Samarinda ketika diminta tanggapannya mengenai perhelatan pesta budaya Erau pada 1-8 Juli 2012.
Wanita yang bekerja pada sebuah perusahaan batu bara di Samarinda itu mengaku baru beberapa tahun menetap di Samarinda sehingga penasaran untuk menyaksikan pagelaran pesta adat di Kutai Kartanegara, Kaltim itu karena selama ini hanya tahu dari media massa.
Bersama beberapa rekan kerjanya, mereka ke Kota Tenggarong pada pembukaan Erau 2011 dan menyaksikan berbagai kegiatan yang menjadi rangkaian pesta budaya tersebut.
“Bagian yang menarik adalah festival seni budaya khas Kalimantan Timur pada Erau itu sehingga warga pendatang atau wisatawan akan mengenal kesenian dari suku-suku Melayu dan suku-suku Dayak,†kata Dewi yang mengaku asli Sunda kelahiran Kota Kembang Bandung 28 tahun silam itu.
Selebihnya, ujar dia, tidak ada hal yang khusus atau menarik perhatiannya karena rangkaian acara Erau itu seperti kegiatan pameran pembangunan yang biasa digelar setiap menyambut HUT RI.
“Kalaupun ada yang dianggap istimewa, paling karena ada artis ibu kota yang diundang untuk menghibur warga tetapi bagi wisatawan nasional ataupun wisatawan mancanegara, hal itu bukan sesuatu yang menarik untuk ditonton,†katanya.
Pada hari penutupan Erau, katanya, menjadi hari yang tak terlupakan karena mendapat pengalaman buruk saat mengunjungi pesta budaya itu.
Bersama empat orang temannya satu kantor, tiga wanita dan satu pria mereka kembali ke Tanggarong untuk menyaksikan acara ritual untuk menutup acara itu.
Pada hari penutupan itu, jalan-jalan di Kota Raja begitu padat sehingga mereka terpaksa berjalan kaki dengan memarkir mobil cukup jauh dari lokasi acara ritual penutupan antara lain di Istana Kesultanan Kutai yang dekat Museum Mulawarman serta Pelabuhan Kota Tenggarong.
Mereka menyaksikan prosesi akhir dari Erau yang awalnya ditandai acara diaraknya dua ekor reflika Naga Erau dari Museum Mulawarman yang kemudian dilabuh atau “dilarung†pada perairan di Kutai Lama Kecamatan Anggana atau disebut dengan prosesi Ngulur Naga.
Usai acara itu, Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura HAM Salehuddin II ke Rangga Titi untuk memercikkan Air Tuli dari Kutai Lama sebagai tanda dimulainya siram-siraman (Belimbur).
Pada acara berlimbur itu, mereka tidak sempat kembali ke lokasi mobil parkir dan menjadi “korban†siraman air oleh setiap orang yang bertemu mereka di jalan.
“Mending air bersih, ternyata sejumlah warga dengan tanpa perduli menggunakan ember mengambil di parit dan menyiramkan air kotor itu. Benar-benar menjijikkan, meskipun kami berteriak-teriak agar jangan disiram tetap saja mereka tidak perduli,†ujar Dewi.
Ia menuturkan bahwa bukan hanya pakaian mereka saja yang basah namun tas dan isinya juga terkena air sehingga telepon selular kesayangannya rusak.
“Yang membuat saya trauma adalah beberapa pemudah tanggung yang ikut menyiram kami itu sempat melakukan pelecehan dengan memegang-megang tubuh teman-teman wanita saya. Mereka tidak berani menyentuh saya karena jika mendekat saya pukul dengan tas,†ujarnya.
Mereka ingin melaporkan kejadian itu secara resmi kepada pihak berwajib namun salah seorang petugas menyarankan agar mereka melupakan saja kejadian itu karena sulit bagi petugas untuk mencari pemuda yang melakukan tindakan tidak senonoh itu karena jumlah warga turun ke jalan mencapai ribuan orang.
Selain itu, siram-siraman atau berlimbur sudah dianggap bagian dari budaya jadi petugas tersebut berkilah tidak ada pasal yang dilanggar.
“Berdasarkan pengalaman itu, maka saya menilai Erau sulit untuk menarik perhatian wisatawan nasional atau wisatawan mancanegara karena aksi simbur-simburan itu tidak pandang bulu, bahkan saya lihat beberapa wartawan yang membawa kamera mahal juga menjadi korban,†paparnya.
Eliminasi Korban
Prosesi belimbur dimulai setelah Air Tuli dari Kutai Lama tiba di Tenggarong, lalu digelar prosesi Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura HAM Salehuddin II naik ke Rangga Titi (balai yang terbuat dari bambu kuning).
Pada prosesi ini Sultan memercikkan Air Tuli ke dirinya sendiri dengan mayang pinang lalu setelah itu, di percikkan ke orang-orang di sekelilingnya.
Saat Sultan memercikkan air ke orang disekitarnya itulah yang menjadi tanda bahwa Belimbur dimulai. Kontan saja hal itu disambut perang air oleh pengunjung yang telah berada disekitar Musium maupun se Kota Raja Tenggarong.
Menurut Koordinator Sakral Erau Kesultanan Kutai, Awang Imaludin, belimbur bermakna pensucian diri dari pengaruh jahat sehingga kembali suci dan menambah semangat dalam membangun daerah.
Berdasarkan penjelasan Awang itu maka hakikatnya makna dari prosesi belimbur itu sangat berarti bagi membangkitkan semangat warga dalam membangun daerahnya.
Tradisinya juga dengan cara menyiram sewajarnya serta menggunakan air bersih bukan seperti yang dipraktikan oleh para anak muda sekarang ini.
Mengeliminasi “korban†dari berlimbur yang tidak mengikuti tradisi itu, maka pihak koordinator sakral dan pemerintah daerah baik melalui imbauan Sekkab maupun langsung oleh Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari telah berulang kali mengingatkan hal itu pada setiap acara Erau.
Bupati Kukar Rita Widyasari mengatakan bahwa Belimbur adalah salah satu budaya asli Kutai yang unik dan harus dilestarikan namun menyiram dengan cara sewajarnya saja dan menggunakan air bersih.
Hal terpenting, kata Rita, acara simbur-simburan tidak mengurangi makna dari belimbur, yakni untuk menyucikan diri serta membangkitkan semangat untuk membangun.
Imbauan pihak Kesultanan Kutai dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari tampaknya tidak digubris, terbukti setiap tahun banyak “korban†yang mengaku jera untuk menghadiri acara tersebut.
Cara menyiram yang juga dilarang oleh pihak kesultanan dan Pemkab Kutai selain menggunakan air kotor juga dengan melempar kantongan plastik yang diisi air karena bisa membahayakan, terutama bagi warga yang sedang mengendarai kendaraannya.
Sekretaris Kabupaten Kutai Kartanegara Haryanto Bachroel sejak dini sudah mengingatkan warga untuk tidak menyalahkangunakan dan mencari kesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji.
“Belimbur merupakan acara yang paling ditunggu masyarakat, tapi sejak beberapa tahun terakhir setiap pelaksanaan Erau sudah menyimpang dari makna sebenarnya, yaitu membersihkan diri dari kotoran dan kejahatan,†sebut Harry.
Haryanto Bachroel yang juga seorang bangsawan dan Menteri Sekretaris Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura mencontohkan tentang sejumlah “kasus kejahatan berlimbur†beberapa tahun sebelumnya. Ada warga yang saat belimbur menyiramkan air kotor dan memaksa pengendara roda dua dan empat untuk berhenti untuk kemudian disiram.
Pemkab Kutai Kartanegara mengharapkan seluruh warga mendukung supaya Erau lebih baik ketimbang tahun-tahun sebelumnya, apalagi sudah masuk dalam agenda nasional sehingga bukan hanya menarik perhatian wisatawan nasional namun juga wisatawan mancanegara.
Haryanto Bachroel menjelaskan bahwa Erau berasal dari bahasa Kutai yaitu “Eroh†yang berarti ramai atau riuh dengan suasana penuh sukacita. Kegiatan ini bermaksa sakral, ritual, maupun hiburan.
Agenda Nasional
Imbauan Pemkab Kutai Kartanegara agar warganya menjauhi tindakan tidak terpuji selama Erau tidak terlepas dari tekad Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari agar pesta adat tersebut bisa menjadi andalan daerah dalam menarik minat wisatawan nasional maupun mancanegara.
Upaya Pemkab Kutai agar Erau bisa lebih meriah sehingga tanggal pelaksanaannya dirubah dari September yang bertepatan dengan HUT Kota Tenggarong yang berdiri sejak 29 September 1782 menjadi Juli karena bertepatan dengan libur sekolah.
Selain itu, Pemkab Kutai Kartanegara menggandeng pusat (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kemenparekraf) dalam upaya mengembangkan potensi Erau itu.
Wakil Kemenparekraf Sapta Nirwandar dalam acara jumpa pers Festival Adat Erau 2012 di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, beberapa hari lalu menyampaikan tentang rencana penghelatan Festifal Adat Erau 2012 bertemakan “Festival Erau Pelas Benua Etam†yang mengandung arti pembersihan segala hal yang mengganggu sumber penghidupan masyarakat di wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara.
Festival itu akan dimeriahkan dengan berbagai acara, seperti berseprah (makan pagi secara massal), pentas seni tradisi, kirab budaya, olahraga tradisonal, lomba ketinting, seminar budaya, festival kuliner terapung, pasar rakyat, dan masih banyak lagi.
Festival ini pun ditujukan untuk melestarikan dan mengangkat kearifan lokal yang menjadi warisan ratusan tahun silam.
Festval Adat Erau adalah tradisi budaya yang dilakukan secara turun menurun oleh masyarakat Tenggarong.
Pusat kemeriahan akan berlangsung di Kedaton Kutai Kartanegara dan Museum Mulawarman. Para pejabat setempat hingga kerabat kesultanan akan turut serta dalam kemeriahan ini.
Melihat potensi dari berbagai atraksi budaya pada Erau tersebut, maka tampaknya penghelatan pesta adat di Tenggarong itu memiliki peluang besar untuk menarik minat wisatawan nasional dan mancanegara.
Jika berkaca pada kejadian tahun-tahun sewbelumnya, maka imbauan pihak Kesultanan dan Pemkab Kutai Kartanegara tidak cukup ampuh untuk menghentikan atau mengeliminir “kasus kejahatan belimbur†sehingga tampaknya perlu kiat jitu bagi panitia pelaksana dalam mengatasinya.
Paling tidak, bagi para pengunjung yang sedang sakit ataupun membawa sejumlah alat elektronik, misalnya kamera lebih baik membentengi diri dengan mengenakan jas hujan agar barang tersebut tidak rusak saat tiba prosesi belimbur. (*)
Mengapa Erau Kurang Dilirik Wisatawan ?
Minggu, 1 Juli 2012 20:44 WIB